Soal:
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.
Semoga Allah melindungi Anda dan memberikan banyak kebaikan kepada Anda.
Saya ingin bertanya:
Di dalam buku asy-Syakhshiyah al-Islamiyah juz i dinyatakan bahwa hadis ahad tidak dapat digunakan sebagai dalil. Jadi itu adalah pendapat yang diadopsi oleh Hizb.
Pada faktanya, para ulama memiliki pendapat yang berbeda tentang kualitas hadis. Kadang kala seorang ulama menilai satu hadis sebagai shahih, sementara ulama yang lain menilainya dhaif (lemah).
Lalu apa sikap kita sebagai syabab terkait hal ini?
Untuk jawaban yang diberikan, saya ucapkan banyak terima kasih dan semoga Allah membalas Anda dengan yang lebih baik.
Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.
[Agus Trisa]
Jawab:
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
Kami telah menjelaskan masalah ini di dalam asy-Syakhshiyah juz i pada bab “ I’tibâr al-Hadîts Dalîlan fî al-Ahkâm asy-Syar’iyah -Pertimbangan Kedudukan Hadis Sebagai Dalil Hukum Syara’-“ halaman 345. Kami katakan:
[Pertimbangan Hadis Sebagai Dalil Hukum Syara’.
Dalil atas akidah harus berupa dalil yang bersifat meyakinkan yang dipastikan keshahihannya (yaqîniyan maqthû’an bishihatihi). Oleh karena itu, khabar ahad tidak layak menjadi dalil atas akidah, meskipun itu merupakan hadis shahih secara riwayat dan dirayah. Adapun hukum syara’, maka cukup berupa dalil zhanniy. Oleh karena itu, sebagaimana hadis mutawatir layak menjadi dalil atas hukum syara’, demikian juga khabar ahad juga layak menjadi dalil atas hukum syara’. Namun, khabar ahad yang layak menjadi dalil atas hukum syara’ adalah hadis shahih dan hadis hasan. Adapun hadis dhaif maka tidak layak menjadi dalil syara’ sama sekali. Siapa saja yang berdalil dengan hadis dhaif maka tidak dipandang berdalil dengan dalil syar’iy. Hanya saja, pertimbangan hadis sebagai shahih atau hasan, tidak lain adalah menurut orang yang berdalil dengannya, jika dia memiliki keahlian pengetahuan hadis, dan bukan menurut semua ahli hadis (al-muhadditsîn). Hal itu karena ada perawi yang dinilai tsiqah menurut sebagian ahli hadis, tetapi dinilai tidak tsiqah menurut sebagian yang lain, atau perawi yang dinilai sebagai rawi yang tidak dikenal (al-majhûl) menurut sebagian ahli hadis tetap dinilai dikenal (al-ma’rûf) menurut sebagian yang lain. Dan ada hadis-hadis yang tidak shahih dari satu jalur tetapi shahih dari jalur yang lain. Dan ada jalur-jalur yang tidak shahih menurut sebagian ahli hadis tetapi shahih menurut yang lain. Juga ada hadis-hadis yang tidak dipertimbangkan menurut sebagian ahli hadis dan mereka menilainya cacat tetapi dipertimbangkan oleh ahli hadis yang lain dan mereka berhujjah dengannya …
Jadi tidak boleh tergesa-gesa menilai cacat dalam hadis dan menolaknya, kecuali jika perawinya dikenal luas bahwa dia dinilai cacat secara umum, atau hadis itu tertolak (mardûd) oleh semua ahli hadis, atau tidak digunakan sebagai hujah kecuali oleh sebagian fukaha yang tidak memiliki keahlian dengan hadis. Maka hadis tersebut dinilai cacat dan ditolak. Jadi wajib meneliti dan berpikir dalam hadis sebelum melangkah menilai cacat padanya atau menolaknya.
Dan orang yang meneliti para perawi dan hadis-hadis, dia mendapati adanya perbedaan dalam hal itu di antara para ahli hadis. Dan contoh atas hal itu banyak sekali.
Misalnya, Abu Dawud meriwayatkan dari Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:
«الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ، ويَسْعَى بِذِمَّتِهِمْ أَدْنَاهُمْ، وَيُجِيرُ عَلَيْهِمْ أَقْصَاهُمْ، وَهُمْ يَدٌ عَلَى مَنْ سِوَاهُمْ، يَرُدُّ مُشِدُّهُمْ عَلَى مُضْعِفِهِمْ، وَمُتَسَرِّيهِمْ عَلَى قَاعِدِهِمْ»
“Kaum Muslim setara darah mereka, dan dzimmah (jaminan keamanan) mereka menjangkau semuanya, dan perlindungan mereka menjangkau mereka semua, dan mereka laksana satu tangan terhadap selain mereka, orang yang lebih kuat membantu orang yang lebih lemah dan ghanimah yang diperoleh orang dari anggota pasukan yang keluar untuk berperng dikembalikan terhadap orang dari anggota pasukan itu yang duduk tidak keluar berperang”.
Perawi hadis ini adalah Amru bin Syu’aib, dan Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya di situ ada ucapan yang masyhur. Meski demikian, banyak fukaha yang berhujjah dengan hadisnya, sementara itu juga ada banyak orang yang menolaknya. At-Tirmidzi berkata: “Muhammad bin Ismail berkata, aku melihat Ahmad dan Ishaq dan ia juga menyebutkan selain keduanya, berhujjah dengan hadis Amru bin Syu’aib. Syu’aib bin Muhammad telah mendengar dari Abdullah bin Umar”. Abu Isa (at-Tirmidzi) berkata: “orang yang berbicara mempersoalkan hadis Amru bin Syu’aib tidak lain mendhaifkannya karena dia menceritakan hadis dari lembaran (tulisan) kakeknya. Seolah mereka berpandangan bahwa dia tidak mendengar hadis ini dari kakeknya. Ali bin Abi Abdillah al-Madini berkata, “Yahya bin Sa’id berkata: “hadis Amru bin Syu’aib menurut kami rancu (wâhin)”. Berdasarkan ini, maka jika orang beristidlal atas hukum syara’ dengan hadis yang diriwayatkan oleh Amru bin Syu’aib maka dalilnya dinilai sebagai dalil syar’iy, sebab Amru bin Syu’aib termasuk orang yang hadisnya dijadikan hujjah menurut sebagian ahli hadis.
Contoh lainnya, di dalam Sunan ad-Daraquthniy dari al-Hasan dari ‘Ubadah bin Malik bahwa Nabi saw bersabda:
«مَا وُزِنَ مِثْلٌ بِمِثْلٍ إِذَا كَانَ نَوْعاً وَاحِداً، وَمَا كَيْلَ فَمِثْلُ ذَلِكَ، فَإِذَا اخْتَلَفَ النَّوْعَانِ فَلَا بَأْسَ بِهِ»
“Apa yang ditimbang harus sama jika satu jenis, dan apa yang ditakar maka semisal yang demikian itu, dan jika keduanya berbeda jenis maka tidak apa-apa dengannya”.
Hadis ini di dalam sanadnya ada ar-Rubayi’ bin Shabih. Dia ditsiqahkan oleh Abu Zur’ah dan didhaifkan oleh jamaah. Hadis ini juga dikeluarkan oleh al-Bazar dan dinilai sebagai hadis shahih. Maka jika seseorang beristidlal dengan hadis ini atau hadis yang di dalam sanadnya ada ar-Rubayi’ bin Shabih, maka dia telah beristidlal dengan dalil syar’iy, sebab hadis ini adalah shahih menurut jamaah, dan karena ar-Rubayi’ dinilai tsiqah menurut jamaah. Tidak dikatakan di sini bahwa jika seseorang dinilai adil dan cacat sekaligus maka penilaian cacat lebih diutamakan dari penilaian adil. Tidak dikatakan demikian, sebab hal itu tidak lain jika dinyatakan atas satu orang menurut satu orang. Adapun jika dinyatakan oleh dua orang, yang satu menilainya cacat sedangkan yang lain tidak menilainya cacat, maka itu boleh. Dari sinilah datang dipertimbangkannya sebagian perawi menurut sebagian ahli hadis dan tidak dipertimbangkan menurut sebagian ahli hadis yang lain … dst.
Begitulah, menjadi jelas adanya perbedaan yang banyak dalam hadis-hadis, para perawi, dan jalur-jalur riwayat di antara para ahli hadis. Dan terjadi perbedaan yang banyak di antara para ahli hadis dan para fukaha umumnya dan sebagian mujtahid. Maka jika hadis ditolak karena adanya perbedaan ini maka niscaya banyak hadis yang dinilai shahih atau hasan akan ditolak, dan niscaya banyak dalil syara’ akan gugur, dan ini tidak boleh. Oleh karena itu, wajib tidak ditolak hadis kecuali karena sebab shahih yang muktabar menurut umumnya ahli hadis atau merupakan hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat wajib pada hadis shahih dan hadis hasan. Dan boleh beristidlal dengan hadis manapun jika muktabar menurut sebagian ahli hadis dan hadis itu memenuhi syarat-syarat shahih atau hadis hasan, dan dipertimbangkan (dinilai) sebagai dalil syar’iy atas hukum syara’ …], selesai.
Saya berharap di dalam jawaban ini ada kecukupan, wallâh a’lam wa ahkam.
Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
13 Rabiul Awwal 1444 H
09 OIktober 2022 M
https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/84758.html
https://www.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/652578779762828