Pernyataan Polri Soal Penyebab Kematian Korban Tragedi Kanjuruhan Terlalu Dini

Mediaumat.id – Sekjen Lembaga Bantuan Hukum Pelita Umat (LBH PU) Panca Putra Kurniawan, S.H., M.Si. menilai, pernyataan Polri yang menyebut kematian para korban Tragedi Kanjuruhan bukan karena gas air mata, melainkan karena kekurangan oksigen terlalu dini. “Terlalu prematur dengan pernyataan seperti itu,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Selasa (11/10/2022).
Pasalnya, kasus ini menyangkut permasalahan nyawa yang hilang karena diduga terdapat kelalaian ataupun tindakan berlebihan dari aparat keamanan waktu itu.
Apalagi, menurut Panca, tewasnya ratusan suporter maupun penonton ketika itu bukanlah kejadian tunggal. “Ini rentetan aksi reaksi. Di situ ada panitia, ada asosiasi, dan ada aparat,” bebernya.
Sehingga kembali ia menegaskan, kepolisian tinggal menelusuri saja semua pihak yang terlibat. Baik dari pelanggaran SOP atau kelalaian pihak-pihak terkait.
Dengan kata lain, dugaan-dugaan sebelumnya haruslah diusut tuntas. “Dugaan-dugaan ini harus diusut tuntas. Jangan dibangun pernyataan yang mengalihkan publik,” tandasnya.
Ia juga berharap transparansi dari kepolisian dengan tidak melindungi oknum yang terlibat. “Tegas saja, hukum dan adili siapa pun yang bertanggung jawab dan terbukti bersalah,” lugasnya.
Studi Lain
Diberitakan sebelumnya, Kadiv Humas Polri, Irjen Dedi Prasetyo mengungkapkan bahwa temuan itu yakni gas air mata tidak mematikan berdasar ungkapan para ahli.
“Mengutip pendapat dari Prof. Made Gegel adalah guru besar dari Universitas Udayana. Beliau ahli di bidang toksikologi atau racun. Termasuk dari Prof. Massayu Elita bahwa gas air mata dalam skala tinggi pun tidak mematikan,” kata Dedi pada konferensi pers di TNCC Mabes Polri, Senin 10 Oktober 2022.
Namun terlepas itu, terdapat studi lain yang menyatakan sebaliknya. Adalah Study Amnesty International menyebut gas air mata bisa mengakibatkan kematian.
Dalam studinya, mereka menyebut ada kemungkinan penggunaan gas air mata menyebabkan efek kematian jika digunakan tidak secara tepat.
Peneliti dari Universitas California, Barkeley, Rohini Haar, dalam studi Amnesty itu menyatakan bahwa gas air mata yang terhirup ke dalam mulut dan hidung seseorang bisa mengakibatkan kematian. Pasalnya, kandungan dalam gas tersebut bisa merusak membran dalam paru-paru.
Dalam banyak kasus, menurut studi itu, efek gas air mata mulai terasa dalam 10 hingga 20 menit. Namun demikian, efek gas air mata memiliki dampak yang berbeda ke tiap orang. Anak-anak, perempuan hamil dan lansia lebih rentan terhadap efeknya.
Studi tersebut juga mengungkapkan bahwa tingkat keracunan dapat berbeda pula bergantung dari spesifikasi produk, kuantitas yang digunakan, dan lingkungan tempat gas air mata ditembakkan. Kontak dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan beberapa risiko kesehatan hingga kematian.
Apalagi dalam insiden tersebut, sangat jelas oknum aparat menembakkan gas air mata ke arah massa yang masuk ke dalam lapangan. Tak hanya itu, tembakan gas air mata juga dilepaskan ke arah tribun yang masih dipenuhi penonton.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Pemprov Jawa Timur, update jumlah korban Kanjuruhan hingga Sabtu (8/10/2022) menjadi total 714 orang yang terdiri dari 131 korban tewas, 583 orang luka-luka dan sebanyak 33 orang masih menjalani perawatan di rumah sakit.
Lantas mengenai asumsi-asumsi lainnya, menurut Panca, wajar adanya dan bisa pula ke mana-mana. Maka di situlah pentingnya peran hukum yang harus mampu memproses dan mengadili. Agar publik, khususnya keluarga korban segera mendapatkan kepastian hukum. “Semoga ini jadi yang terakhir,” pungkasnya.[] Zainul Krian