Pernyataan “Indonesia Bukan Negara Agama dan Bukan Negara Sekuler” Serba Ambigu

Mediaumat.id – Pernyataan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir yang menyebut “Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler” dinilai sebuah ungkapan yang serba ambigu. “Pernyataan ‘Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler’ adalah sebuah ungkapan yang serba ambigu,” tutur Pengamat Politik Islam Dr. Riyan, M.Ag. kepada Mediaumat.id, Sabtu (16/12/2022)
Menurutnya, ambigu karena pertanyaan utamanya adalah apa yang salah dengan negara agama, bila yang dimaksud agama adalah Islam. “Karena Islam melalui Rasul SAW dan para shahabat ra, telah mencontohkan dalam praktek kenegaraan dan kemasyarakatan,” ungkapnya.
Selain ambigu, kata Riyan, pernyataan bukan negara sekuler adalah bertentangan dengan fakta. “Fakta bahwa agama dalam hal ini Islam, dijauhkan dari tata kelola pemerintahan.” tegasnya.
Riyan pun memberikan contoh. Misalnya, praktik hukum yang tidak didasarkan pada agama Islam dalam pengesahan KUHP yang secara paradigmatik mengikuti hukum kolonial Belanda. Pemerintahan didasarkan pada demokrasi yang di dalam konstitusi ditegaskan berdasar kedaulatan rakyat (manusia). Praktik hutang luar negeri berbasis kepada bunga (riba), yang bertentangan dengan Islam. Sebagaimana pajak yang menjadi basis utama dari pendapatan negara, bertentangan dengan Islam.
Berubah
Terkait kesepakatan sebuah negara, Riyan menilai sangat mungkin berubah. Ia pun menyorotinya dalam dua hal. Pertama, kesepakatan dalam negara dilakukan oleh manusia. Secara konsep, dengan berbagai dinamika yang ada sangat mungkin berubah.
Secara praktik, ujar Riyan, Indonesia pernah menjadi negara kesatuan, kemudian berubah menjadi negara federasi (Republik Indonesia Serikat/RIS) berubah lagi menjadi kesatuan, berubah dari dasar negara dari Pancasila versi Piagam Jakarta berubah lagi menjadi Pancasila versi 18 Agustus 1945. Berubah dari UUD 1945 menjadi UUD versi amandemen sampai jilid keempat.
“Semua fakta ini menunjukkan kesepakatan dalam negara sangat mungkin berubah. Termasuk di dalam pasal UUD 1945 memuat terkait dengan perubahan atas dirinya,” ujarnya.
Kedua, hal utama yang menjadi prinsip dan pedoman adalah perubahan kesepakatan dalam bernegara harusnya mengarah dan berdiri tegak atas dasar Islam. “Sebagaimana kesepakatan tokoh di Madinah yang mengubah hukum jahiliah ke hukum Islam. Bukan ke arah sekuler radikal yang makin menjauhkan Islam dari kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Sebagaimana kesepakatan yang dibuat oleh Kemal Pasha atas dukungan penjajah Inggris yang mengubah Islam menjadi sekuler. Karena semakin jauh dari Islam akan semakin membuat kehidupan menjadi sempit dan membawa petaka kerusakan. Sebagaimana peringatan dalam QS Thaha: 124 dan QS Ar Ruum:41,” terangnya.
Menurutnya, ini semua menunjukkan secara gamblang, bahwa kesepakatan manusia senantiasa berpotensi berubah. “Hanya perubahannya harus mengarah dan tetap tegak lurus di atas asas Islam sebagai pandangan hidup,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it