Perlu Terobosan Hukum Soal Kasus Ijazah Palsu Jokowi

Mediaumat.info – Pakar Fikih Kontemporer sekaligus Founder Institut Muamalah Indonesia KH Muhammad Shiddiq al-Jawi menyampaikan, perlunya terobosan hukum berkenaan fenomena kebuntuan hukum dan ketidakmampuan hukum positif saat ini untuk menuntaskan isu dugaan ijazah sarjana palsu Presiden RI Periode 2014-2024 Joko Widodo.
“Nah, di sini menurut saya perlu terobosan hukum,” ujarnya dalam Kajian Soal Jawab Fiqih: Terobosan Fiqih Islam dalam Isu Ijazah Palsu Jokowi, Kamis (17/4/2025) di kanal YouTube Ngaji Shubuh.
Menurutnya, ada dua poin terkait terobosan fikih dimaksud. Pertama, terdapat kesunahan (anjuran) kepada pihak tertuduh agar menunjukkan bukti-bukti bantahan yang dapat mementahkan tuduhan. Bahkan hukumnya bisa berubah menjadi wajib jika pihak yang dituduh merupakan ulama atau pemimpin masyarakat yang menjadi panutan.
Dalilnya, sebagaimana telah diisyaratkan oleh Imam Ibnu Daqiq al-‘Id (1228-1302), seorang ulama Sunni dan hakim di Kesultanan Mamluk Bahri di Mesir, yang dikutip Imam al-Qasthalānī dalam kitab Irsyād al-Sārī li Syarh Shahīh Al-Bukhārī, Juz IV, hlm. 608), yang artinya:
Dalam hadits ini terdapat dalil untuk menghindarkan diri agar (tidak) terjatuh pada waham (prasangka lemah) yang menisbatkan manusia dengan hal-hal yang tidak sepatutnya. Ini lebih tegas lagi bagi para ulama, dan bagi siapa saja yang panutan.
Jadi, tidak boleh bagi mereka melakukan perbuatan yang dapat mendatangkan prasangka buruk (sū’uzh zhann) kepada mereka, meskipun mereka mempunyai alasan melepaskan diri (dari fitnahan, tuduhan, dsb.) mengenai perbuatan itu, karena adanya prasangka buruk itu dapat menyebabkan tersia-siakannya ilmu dari mereka (ulama).
Dengan demikian, jelaslah bahwa secara fikih, meskipun pada dasarnya beban pembuktian untuk suatu tuduhan/klaim itu menjadi kewajiban pihak yang menuduh (mendalilkan), namun terdapat anjuran bahkan keharusan pihak tertuduh agar menunjukkan bukti-bukti bantahan yang dapat mementahkan tuduhan dari pihak yang menuduh (mendalilkan).
Kedua, penyelesaian sengketa (al-khushūmāt, dispute) tidak hanya dapat dilakukan di pengadilan (al-qadhā`) tetapi dapat juga dilakukan di luar pengadilan, yaitu dengan memilih salah satu dari dua jalur hukum Islam.
Di antaranya, perdamaian (al-shulhu/al-ishlāh) antara dua pihak yang bersengketa, tanpa melibatkan pihak ketiga; atau arbitrase (al-tahkīm, arbitration), yaitu penyelesaian sengketa di antara dua pihak, dengan melibatkan pihak ketiga yang disebut muhakkam (mediator nonhakim).
Dengan catatan, sekali lagi ditegaskan, perdamaian maupun arbitrase di sini merupakan suatu jalan syariah Islam di luar pengadilan untuk menyelesaikan segala sengketa yang terjadi di antara kaum Muslim.
Naif
Namun dalam konteks kekinian, menyelesaikan sengketa di pengadilan, bukanlah pilihan tepat dan malah terlihat naif.
Kata Kiai Shiddiq, paling tidak karena dua alasan. Pertama, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan sedang anjlok drastis, sehingga dalam hal ini hakim pengadilan sudah tidak bisa dipercaya lagi.
Hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) sejak 2011 hingga 2024, misalnya, ditemukan 29 hakim diduga menerima suap untuk mengatur hasil putusan. Kini pada awal 2025, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan empat hakim sebagai tersangka dalam kasus suap penanganan perkara ekspor crude palm oil (CPO).
Kedua, lembaga peradilan saat ini kemungkinan besar akan diintervensi oleh pihak Jokowi. Dan ini sudah tampak ketika akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah norma hukum tentang usia minimal calon wapres pada Oktober tahun 2023 lalu.
“Karena itu jika kasus dugaan ijazah palsu tersebut dilanjutkan melalui peradilan seperti yang saat ini diberlakukan, bisa dipastikan hasilnya bakal melukai tujuan dari hukum itu sendiri, yaitu keadilan,” prediksinya.
Sebelumnya, Kiai Shiddiq menyinggung asas actori incumbit onus probandi yang berarti ‘siapa yang mendalilkan (menuntut), dia yang harus membuktikan. Kelanjutan dari asas tersebut adalah actore non probante, reus absolvitur yang maknanya jika tidak dapat dibuktikan, terdakwa harus dibebaskan.
Sekadar ditambahkan, kedua asas tersebut terdapat di Pasal 163 HIR/283 RBg dan Pasal 1863 KUHPerdata mengatur asas actori incumbit probatio dalam hukum acara perdata.
Celakanya, argumen itu yang selalu diulang oleh kuasa hukum Jokowi. “Ini yang selalu diulang-ulang, argumen ini, oleh kuasa hukumnya. Akhirnya, titik temunya tidak ada,” kata Kiai Shiddiq lebih lanjut.
Kubu Jokowi, dalam kasus dugaan ijazah palsu ini, hanya mau menunjukkan ijazah aslinya di pengadilan, atau jika diperintahkan oleh pengadilan.[] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat