Perjanjian Tarif RI-AS, Kado Pahit Perayaan 80 Tahun Kemerdekaan

MediaUmat – Penulis Buku Revolusi Tanpa Setetes Darah HM Ali Moeslim melihat Kesepakatan Tarif Republik Indonesia dan Amerika Serikat sebagai kado pahit bagi perayaan 80 tahun kemerdekaan Indonesia dari penjajahan fisik.
“Kesepakatan tarif ini sangat tidak berimbang. Bagi Indonesia, hal ini bak kado pahit bagi 80 tahun kemerdekaan Indonesia dari penjajahan fisik,” ujarnya kepada media-umat.com, Selasa (12/8/2025).
Menurut Ali, tampak jelas Indonesia gagap memasuki babak perang dagang global yang diinisiasi oleh Donald Trump sejak kembali menjabat sebagai presiden AS dengan mengumumkan kebijakan liberation day tariff yang menyasar 20 negara di dunia termasuk Indonesia.
Ali menyayangkan, di tengah surplusnya perdagangan Indonesia dengan AS pada periode awal tahun 2025 ini (Januari-Pebruari) justru tarif dagangnya naik menjadi 32%, walaupun akhirnya diturunkan menjadi 19% tapi dengan syarat Indonesia harus membeli energi AS senilai US$15 miliar, produk pertanian AS senilai US$4,5 miliar, dan 50 pesawat Boeing.
Ali melihat, dalam kesepakatan tarif ini bukan hanya pelepasan cadangan devisa secara signifikan dalam ratusan triliun, kesepakatan tarif ini sangat tidak berimbang dan mengakibatkan jatuhnya harga diri bangsa ke titik nol.
“Hal ini semakin menegaskan watak asli dari sistem ekonomi kapitalis bahwa negara kaya semakin kaya, negara miskin semakin melarat,” jelasnya.
Menurut Ali, dalam paradigma sistem ekonomi kapitalisme, tarif ekspor/impor adalah bea cukai yang posisinya sama dengan pajak, bahkan sama-sama menjadi sumber utama kas negara (APBN). Keberadaan bea cukai dan pajak tidak ubahnya lahan bisnis penguasa terhadap rakyatnya.
“Ini menggambarkan hubungan rakyat dengan penguasa benar-benar seperti penjual dan pembeli. Sehingga dalam konteks perdagangan luar negeri (antar negara), keberadaan tarif ekspor/impor bisa digunakan negara yang kuat untuk menekan negara yang lebih lemah,” jelasnya.
Membandingkan dengan sistim ekonomi Islam, Ali menjelaskan bahwa paradigma perdagangan luar negeri negara Islam (khilafah) itu khas dan berbeda secara prinsif dengan paradigma kapitalisme.
Menurutnya, negara Islam akan membangun aktivitas perdagangannya secara mandiri dan berpihak kepada kemaslahatan Islam dan kaum Muslim, dan tidak sama sekali berpihak pada peningkatan kekayaan nasional sembari melakukan eksploitasi pada negara lain sebagaimana Trump mengeluarkan kebijakan tarif dalam kerangka Make America Great Again (MAGA) yang menguntungkan AS tetapi merugikan Indonesia.[] Agung Sumartono
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat