PEPS Soal Dugaan Korupsi Whoosh: KPK Jangan Berkelit Lagi!

MediaUmat Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera menyelidiki dugaan korupsi dalam proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) Whoosh karena tanda-tanda penyimpangannya sudah sangat jelas.

“KPK jangan berkelit lagi. Dugaan korupsi Proyek KCJB ini sudah terbentang jelas di depan mata. Rakyat mengawasi,” ujarnya dalam siaran persnya kepada media-umat.com, Senin (20/10/2025).

Karena, menurut Anthony, sejak awal proyek sepanjang 142,3 kilometer itu penuh masalah dan sarat dengan kejanggalan. Sikap aneh jika KPK masih mempertanyakan dugaan korupsi yang sudah lama menjadi sorotan publik, lalu meminta masyarakat melaporkan dugaan itu, mencerminkan ketidakmampuan komisioner KPK saat ini.

“Sungguh aneh kalau KPK masih mempertanyakan hal ini, bahkan menghimbau masyarakat melaporkan dugaan korupsi yang sudah terbentang jelas di depan mata. Hal ini mencerminkan komisioner KPK saat ini tidak kompeten,” katanya tegas.

Indikasi Korupsi

Ia menjelaskan, dugaan korupsi tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek utama. Pertama, indikasi markup atau penggelembungan biaya proyek. Berdasarkan perbandingan yang ia paparkan, biaya proyek KCJB mencapai 6,02 miliar dolar AS, atau 41,96 juta dolar AS per kilometer, jauh lebih tinggi dibanding proyek serupa di Cina seperti Shanghai–Hangzhou yang hanya 22,93 juta dolar AS per kilometer.

“Artinya, biaya Proyek KCJB lebih mahal sekitar 19 juta dolar AS per km dibandingkan Proyek Shanghai-Hangzhou tersebut, atau kemahalan sekitar 2,7 miliar dolar AS. Patut diduga, nilai Proyek KCJB yang sangat tinggi tersebut karena penggelembungan, alias markup,” jelasnya.

Ia menyebut penggelembungan ini sebagai bentuk “serakahnomics” karena dilakukan secara kasar dan terang-terangan. Proses evaluasi proyek yang disebutnya tidak profesional.

Ia menduga keterlibatan Jepang dalam tender hanya sebagai “pendamping semu” agar memenuhi syarat formal pengadaan.

“Keikutsertaan Jepang nampaknya dimanfaatkan hanya untuk mengatrol (baca: markup) harga Kereta Cepat Cina agar bisa mendekati penawaran dari Jepang,” ujarnya.

Ia menambahkan, alasan pemerintah saat itu memilih Cina karena tidak meminta jaminan APBN dalam skema business-to-business kini terbukti bohong besar.

“Faktanya, utang proyek Kereta Cepat Cina justru kini minta disuntik dana APBN,” tegasnya.

Kedua, komponen bunga pinjaman. Anthony membandingkan, bunga pinjaman yang ditawarkan Jepang hanya 0,1 persen per tahun, sedangkan Cina mematok 2 persen per tahun, atau 20 kali lipat lebih tinggi. Dengan pinjaman sekitar 4,5 miliar dolar AS, selisih bunga selama 10 tahun masa tenggang bisa mencapai 855 juta dolar AS.

“Kalau komponen bunga dihitung dalam evaluasi, penawaran Cina seharusnya lebih mahal daripada Jepang. Jadi, hampir pasti ada manipulasi dalam penentuan pemenang proyek,” katanya.

Ia menilai, pengabaian komponen bunga dalam perhitungan biaya merupakan pelanggaran serius dan bisa dikategorikan sebagai tindak pidana.

Anthony menduga, komponen bunga pinjaman ini sengaja diabaikan dalam evaluasi agar penawaran Cina terlihat lebih murah.

“Mengabaikan faktor bunga adalah pelanggaran serius dan termasuk tindak pidana. Karena bunga adalah faktor penentu hidup-matinya proyek,” katanya.

Ketiga, pembengkakan biaya atau cost overrun yang mencapai 1,2 miliar dolar AS turut memperkuat dugaan korupsi. Biaya proyek yang semula 6,02 miliar dolar AS melonjak menjadi 7,22 miliar dolar AS, atau 50,5 juta dolar AS per kilometer.

“Dalam proyek infrastruktur dengan sistem turnkey (terima beres), seharusnya pembengkakan biaya ditanggung kontraktor. Tapi anehnya, malah dibebankan ke proyek. Ini janggal,” ujar Anthony.

Ia juga mengungkap, tambahan pembiayaan akibat pembengkakan itu dikenakan bunga pinjaman 3,4 persen per tahun, jauh lebih tinggi dari bunga Jepang.

“Total bunga pinjaman proyek sekarang mencapai 120,6 juta dolar AS per tahun, atau sekitar Rp1,97 triliun. Bandingkan dengan bunga Jepang yang hanya sekitar Rp75 miliar,” tandasnya.[] Lukman Indra Bayu

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: