PEPS: Negara Legalkan Money Laundering Lewat Tax Amnesty dan Utang

MediaUmat Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan, menegaskan, negara telah melegalkan praktik money laundering (pencucian uang) melalui kebijakan fiskal, terutama lewat tax amnesty (pengampunan pajak) dan utang.

“Ini adalah legalized money laundering. Money laundering yang dilegalisasi negara, dilegalisasi melalui undang-undang,” tegasnya dalam siniar Anthony Budiawan: Sri Mulyani Mencuci Uang Lewat Utang, Selasa (26/8/2025) di kanal YouTube Forum Keadilan TV.

Menurutnya, tax amnesty yang dijanjikan akan meningkatkan rasio pajak justru menunjukkan hasil sebaliknya: turun dari 10,4 persen menjadi 9,8 persen. Alih-alih menjerat pengemplang, kebijakan ini menjadi mekanisme pencucian uang yang sah bagi pemilik modal.

“Kita diiming-imingi dengan adanya tax amnesty tahun 2016–2017 rasio pajak akan naik jadi 14,6 persen. Tapi ternyata malah turun. Tax amnesty hanya memberikan kenikmatan bagi mereka yang dulu tidak bayar pajak,” jelas Antoni.

Ia menambahkan, praktik money laundering juga terjadi melalui utang yang kian membengkak. Negara menutup cicilan lama dengan pinjaman baru, mengubah utang menjadi instrumen pencucian finansial yang dilegalkan.

“Utang naik 230 persen lebih, dari Rp2.600 triliun menjadi Rp8.700 triliun. Luar biasa. Dan per Juni 2025, rasio pajak hanya 8,48 persen terhadap PDB, terendah dalam sejarah,” beber Anthony.

Bahkan, seperempat penerimaan pajak rakyat kini hanya untuk membayar bunga, sementara pokok utang terus menumpuk.

“Bunga pinjaman naik hampir 4 kali lipat dari Rp130 triliun menjadi Rp 527 triliun. Sekarang, 25 persen penerimaan pajak kita habis hanya untuk bayar bunga utang, belum cicilannya,” jelasnya.

Akibatnya, pemerintah memotong transfer ke daerah dan mendorong pemda mencari pendapatan sendiri lewat pajak baru.

“Artinya, harus memajaki rakyat lagi, paling mudah lewat PBB. Makanya PBB naik ratusan persen, bahkan sampai ribuan persen,” ungkapnya.

Kondisi ini, tegasnya, menunjukkan bahwa negara sudah memasuki krisis fiskal.

“Ini sudah gali lubang tutup lubang. Bunganya saja dibayar dengan utang baru. Kalau dibiarkan, negara bisa bangkrut,” ujarnya.

Lebih jauh, ia menuding kebijakan pajak sejak 2008 telah menjelma regresif: yang kaya semakin ringan, yang miskin semakin terbebani.

“Undang-undang pajak 2008 membuat pajak progresif jadi regresif. Yang kaya membayar relatif lebih kecil, sementara yang bawah lebih besar. Sri Mulyani harus bertanggung jawab,” tegasnya.

Dalam kondisi seperti ini, sebut Anthony, rakyat hanya dijadikan tumbal untuk menopang negara oligarki.

“Kalau kita sudah dikuasai oligarki, rakyat bawah hanya bisa hidup subsisten. Itu pun dengan bantuan sosial yang tidak seberapa,” ungkapnya.

Ia mengingatkan, lebih dari separuh rakyat Indonesia kini tergolong miskin.

“Penduduk miskin berdasarkan garis kemiskinan Bank Dunia ada 194 juta jiwa, atau sekitar 60 persen rakyat Indonesia. Jadi negara ini sebenarnya sudah jadi negara orang miskin,” ujarnya.

Anthony menutup dengan peringatan keras: tanpa tegaknya hukum yang adil, legalisasi money laundering lewat kebijakan fiskal ini hanya akan mempercepat keruntuhan bangsa.

“Selama penegakan hukum tidak berdasarkan rule of law, maka negara ini akan runtuh. Hukum hanya dipakai untuk kepentingan kekuasaan,” pungkasnya.[] Zainard

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: