PEPS: Ada Risiko Geopolitik di Balik Utang Whoosh

MediaUmat Mengkritisi rencana Presiden Prabowo Subianto menanggung utang proyek kereta cepat Jakarta–Bandung (Whoosh), Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menilai, utang kepada China Development Bank (CDB) bukan hanya persoalan fiskal, tetapi ancaman geopolitik yang bisa menggadaikan kedaulatan aset strategis negara.

“Kalau gagal bayar, apa yang akan disita? Ini harus jelas. Jangan sampai aset strategis kita jadi jaminan,” ujarnya dalam siniar Ada agenda besar di balik Prabowo tanggung utang Whoosh?! Pengamat bocorkan kejanggalan ini! yang ditayangkan kanal YouTube Refly Harun, Jumat (7/11/2025).

Anthony menjelaskan, bunga pinjaman dari CDB mencapai 2–3,4%, angka yang tidak wajar untuk proyek infrastruktur jangka panjang. Menurutnya, kondisi itu menempatkan Indonesia dalam posisi lemah, baik secara ekonomi maupun diplomatik, sehingga membuka ketergantungan baru terhadap Tiongkok.

“Bunganya tidak normal untuk proyek infrastruktur jangka panjang begini — 2% dan 3,4%. Harusnya seperti penawaran Jepang 0,1%,” ungkapnya.

Ia menilai, keputusan pemerintah menanggung utang proyek bermasalah tanpa penyelidikan tuntas terhadap dugaan korupsi merupakan langkah politik yang berbahaya. Selain mengalihkan beban ke rakyat melalui APBN, keputusan ini juga dapat dimanfaatkan pihak asing untuk menekan kepentingan nasional Indonesia.

“Menanggung itu biasa saja, selama kasus korupsinya benar-benar ditegakkan. Tapi kalau korupsi tidak dituntaskan, itu sama saja membuka ruang barter kepentingan antara elite dan kreditur,” tegas Anthony.

Anthony menambahkan, transparansi terhadap aliran dana hasil korupsi dan mekanisme pembayaran utang menjadi kunci untuk mencegah intervensi politik asing. Ia mengingatkan, kebungkaman pemerintah soal aset jaminan dan hasil sitaan kasus korupsi hanya memperkuat dugaan bahwa proyek Whoosh telah menjadi alat kompromi kekuasaan.

“Yakinkan kita bahwa barang itu memang sudah masuk ke kas negara. Publik enggak tahu uang itu ditaruh ke mana,” ujarnya mengkritik.

Kekhawatiran serupa disampaikan Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio dalam forum yang sama. Ia menilai, seluruh dokumen kontrak, laporan keuangan, dan kesepakatan dengan CDB harus dibuka ke publik agar tidak menimbulkan kecurigaan politik luar negeri.

“Cari seluruh dokumen — kontrak, laporan ke presiden, laporan finansial, dan laporan ke CDB. Itu tugas KPK,” kata Agus.

Agus mengingatkan, potensi penyitaan aset negara dalam perjanjian utang semacam ini bukan isapan jempol. Ia mencontohkan beberapa negara di Afrika dan Asia yang terpaksa menyerahkan pelabuhan atau pangkalan militer karena gagal bayar pinjaman Tiongkok.

“Kalau gagal bayar, bisa ada penyitaan aset. Cina kan bisa saja minta pangkalan di Natuna,” ujarnya mengingatkan.

Ia juga menyoroti bahaya manipulasi informasi yang berupaya menutupi dampak politik dari utang tersebut. Menurutnya, publik perlu diedukasi agar tidak terjebak dalam narasi pembanding yang menyesatkan.

“Banyak yang misleading, membandingkan proyek Arab Saudi dengan Indonesia — itu tidak apple to apple,” jelasnya.

Anthony dan Agus menegaskan, proyek Whoosh bukan sekadar urusan ekonomi, tetapi telah menyentuh kedaulatan politik bangsa. Dalam pandangan mereka, utang yang tidak disertai transparansi hanya akan membuka pintu dominasi asing.

“Kalau pemerintah terus menutupi kontrak dan sumber pembiayaan, itu artinya rakyat tidak lagi memegang kendali atas asetnya sendiri,” tegas Anthony.

Sementara Agus menilai, kerahasiaan kontrak dan jaminan aset strategis justru memperkuat pengaruh asing terhadap arah kebijakan nasional.

“Ini bukan soal utang semata. Kalau aset dijaminkan, berarti ada kekuasaan lain yang bisa mengatur kita,” ujarnya menambahkan.[] Zainard

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: