Penghapusan DMO Batu Bara Membuat Oligarki Benar-Benar Power Full

Mediaumat.id – Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng menilai, penghapusan kebijakan domestic market obligation (DMO) batu bara akan membuat oligarki yang menguasai benar-benar power full (kuat) dalam perpolitikan Indonesia.

“Baru-baru ini pemerintah menghapuskan kebijakan DMO batu bara. Hasil batu bara bisa membuat oligarki yang menguasai benar-benar power full dalam perpolitikan Indonesia,” kata Daeng kepada Mediaumat.id, Rabu (13/7/2022).

Daeng mengatakan, penghapusan DMO batu bara adalah kebijakan untuk mengatasi jebolnya Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Menurut Daeng, karena harga DMO dihapuskan dan kuota DMO juga dihapuskan, maka batu bara akan difokuskan untuk pasar ekspor dan membuat harganya selangit. Ketika harga selangit pasti akan menguntungkan para oligarki yang menguasai batu bara.

“Katanya batu bara akan dikenakan pungutan ekspor, mengikuti pola pengaturan sawit. Berarti akan ada lembaga pemungut bea keluar ekspor batu bara. Memang cukup besar hasil yang akan diperoleh APBN dengan pungutan ekspor ini,” katanya.

Ia mengatakan, bayangkan jika harga batu bara per ton 300 dolar, maka 650 juta ton batu bara yang diekspor akan bernilai Rp2800 triliun rupiah. “Jika dipungut 25 persen dari nilai ekspor maka APBN dapat Rp 700 triliun. Bisakah batu bara menyetor sebesar itu? Padahal saat ini setorannya pada APBN hanya seupil,” jelasnya.

Lalu ia mempertanyakan, bagaimana nasib Perusahaan Listrik Negara (PLN) harus membeli batu bara seharga 300 dolar per ton. Padahal, kebutuhan PLN sendiri sekitar 70 juta ton, maka PLN memerlukan uang 21 miliar dolar atau Rp315 triliun atau biaya PLN akan bertambah 220 triliun dari biaya yang dikeluarkan sekarang.

“Pertanyaannya, dari mana PLN dapat uangnya? Katanya akan dapat bantuan dana hasil pungutan ekspor. Dengan demikian maka PLN tidak perlu menaikkan tarif untuk mendapatkan uang akibat naiknya harga batu bara. Konon dengan itu APBN akan selamat, PLN akan selamat,” jelasnya.

Ia mempertanyakan lagi, jika cara pengaturan sawit ini dibawa-bawa ke batu bara. Sementara ia melihat, pengaturan sawit gagal menstabilkan harga minyak goreng, uang hasil pungutan sawit tak jelas rimbanya, dan harga minyak goreng pun tak dapat dikendalikan. “Maka, ujung-ujungnya cerita penghapusan DMO batu bara ini akan bernasib sama dengan sawit. Tetapi bagaimana lagi, menteri keuangan ingin dapat uang banyak. Pie iki, Kang Mas? (bagaimana ini, Mas?)” sentilnya.

APBN Jebol?

Daeng juga mempertanyakan soal jebolnya APBN. “Yakinkah APBN belum jebol? Tampaknya pengurus negara harus memikirkan ulang keyakinannya dan selanjutnya ikut berpikir keras urun rembuk di meja bundar agar bagaimana supaya negara tidak collaps tahun ini,” katanya.

Menurut Daeng, para pengurus Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga harus waspada karena BUMN adalah tumpuan untuk menghasilkan uang dan sekaligus tumpuan stabilitas ekonomi dan politik. Sementara rakyat kebanyakan harus lebih mengecangkan ikat pinggang karena boleh jadi akan makin banyak beban yang akan ditaruh dipudak rakyat.

Pajak karbon Rp30 per kg, pajak pertambahan nilai (PPN) naik jadi 11 persen, DMO batu bara dihapus dinilai Daeng ngeri-ngeri nyeri (mengerikan). “Coba perhatikan baru-baru ini Menteri ESDM (Energi Sumber Daya Mineral) telah melakukan penyesuaian tarif listrik. Penyesuaian ini adalah menaikkan tarif untuk golongan atas. Mengapa? Karena pemerintah sudah tidak kuat lagi membayar subsidi dan kompensasi listrik,” jelasnya.

Ia memaparkan, cerita kompensasi sangat rumit, karena pembayaran kepada PLN selalu tertunda tiga tahun. “Ini perkara berat. Dalam soal kompensasi PLN jadi korban. Kebijakan menyesuaikan atau kenaikan tarif akan menjadi bumerang bagi PLN. Memang ini bisa mengurangi beban kompensasi. Tetapi, bisa mengakibatkan penjualan listrik menurun,” paparnya.

Kalau ini terus berlangsung, maka menurut Daeng, over supply akan berlanjut. “Listrik PLN yang tidak terjual akan makin besar. Listrik yang dibeli PLN dari pihak swasta akan terbuang percuma. Ini juga berpotensi membuat PLN akan jadi korban,” katanya.

Ia mengatakan, masalah jebolnya anggaran subsidi dan anggaran kompensasi listrik akan ditebus dengan membebani masyarakat. Ia menegaskan, bersamaan dengan penyesuaian tarif PLN awal Juli lalu, pemerintah sudah menerapkan dua kebijakan penting yang berakibat tambahan biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk memperoleh listrik. Yakni, sebagai berikut.

Pertama, pengenaan pajak karbon mulai 1 Juli 2022 dengan tarif minimal sebesar Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen atas emisi karbon. “Ini akan menjadi tarif yang diberlakukan dalam harga listrik. Pajak karbon ini sudah pasti akan membuat masyarakat kebanyakan disedot uangnya,” katanya.

Kedua, UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) antara lain menetapkan kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen yang berlaku sejak 1 April 2022 dan 12 persen berlaku paling lambat 1 Januari 2025. “UU ini akan meningkatkan pajak yang harus dibayarkan dalam tarif listrik dan barang konsumsi lainnya. Ini juga masyarakat jadi korban,” pungkasnya.[] Ika Mawarningtyas

Share artikel ini: