MediaUmat – Terkait kebijakan Menteri Keuangan Purbaya menggelontorkan Rp 200 triliun untuk perbankan, Pakar Ekonomi Indra Fajar Alamsyah, Ph.D. menilai sistem kapitalisme memaksa seperti itu, ibarat kejahatan yang memang dibutuhkan (necessary evil).
“Jadi memang sistemnya tuh memaksa seperti itu, jadi ibaratnya kejahatan yang memang dibutuhkan (necessary evil). Enggak ada cara lain lagi,” ungkapnya dalam Special Interview: Mengkaji Strategi Ekonomi ala Purbaya, Sabtu (20/9/2025) di kanal YouTube Rayah TV.
Lantas Indra menambahkan, siapa pun orangnya baik itu Sri Mulyani, baik itu Purbaya cuman beda jalannya aja.
“Instrumen yang dipergunakan berbeda, tapi output-nya sama. Tidak ada peningkatan kesejahteraan rakyat,” ujarnya.
Indra menyebutkan, hari ini Rp 200 triliun digelontorkan ke perbankan. Nah, kalau prediksi betul itu nyangkut hanya di korporat ataupun korporasi-korporasi yang sebenarnya itu hidup tidak, mati tidak (Zombie companies) yang itu dekat dengan lingkungan kekuasaan. Mereka meminta bailout, meminta dana talang karena perusahaannya tidak bisa ngapa-ngapain lagi.
“Nah, ini kan ibaratnya membunuh pasar. Jadi, pasar yang harusnya menurut sistem kapitalis itu biar bekerja sendiri. Nanti dia optimal tersendiri, nanti akan mencapai titik ekuilibrium tersendiri sehingga menjadi kesempurnaan di situ tapi ini justru diintervensi dengan disubsidi disuruh main terus,” urainya.
Model Sri Mulyani dan Model Purbaya
Indra menyebutkan, model Sri Mulyani predictable dengan cara memaksa dengan pajak. Sri Mulyani lemah terhadap konglomerat, keras terhadap masyarakat, kalau model Purbaya unpredictable, ini adalah memprivatisasi keuntungan, memasyarakatkan kerugian.
Menurutnya, melihat kebijakan Purbaya, sebenarnya ini lebih mengerikan kalau bagi rakyat. Pasalnya urusannya adalah dengan inflasi di masa mendatang. Itu yang lebih mengerikan. Kalau pajak mungkin hari ini langsung keluar.
“Walaupun sama mengerikannya, tapi kalau inflasi ini tidak terasa dan enggak tahu siapa yang bikin, siapa yang naikin harga ini? Semua orang naikin harga. Artinya, mau disalahin semuanya, enggak? Padahal itu yang di belakang itu tadi yang bikin kucuran tadi itu. Injeksi uang gitu,” tegasnya.
Indra menuturkan, pandangan neoklasik yang dianut Purbaya bilang bahwa kucuran seperti itu tuh enggak ada masalah. Karena bisa dijustifikasi dengan angka-angka tadi. Sedangkan Sri Mulyani sebelumnya menggunakan pandangan neoklasik itu untuk narik utang luar negeri dengan angka debt service ratio (DSR). Jadi ada batasan berapa persen. Di berapa persen itu selalu dimainkan angkanya jadi dinaikkan pagunya.
Injeksi Uang
Indra menyebutkan, dengan mengucurkan uang (injeksi money) itu kan uangnya juga bukan dicetak fisik. Uangnya itu diketikan (digital). “Harga ada, ada uang sekian pada kenyataannya tidak. Dan ini legal,” sambungnya.
Menurutnya, sistem hari ini itu memperbolehkan, perilaku seperti itu. Ini tuh dilegalkan sah dan tercatat resmi.
Lebih lanjut, ia mengatakan, untuk menjustifikasi pencetakan tanda putih pencetakan uang baru yang tadi disebutnya uang mengendap. “Padahal bukan uang mengendap. Sekali lagi itu adalah uang yang dicetak baru,” ungkapnya.
Paling Ekstrem
Indra memberikan contoh paling ekstrem yang terjadi pada tahun 2008-2009 di Zimbabwe. Saat Zimbabwe mau pinjam ke luar negeri enggak bisa untuk membiayai anggaran negaranya. Maka dari itu dia suruh bank sentralnya tuh untuk beli surat utang negara dia. Terus dibeli bolak-balik gitu sampai akhirnya masyarakat sudah enggak percaya lagi. Inflasi itu sampai 89 titik 0-nya tuh 21 ke belakang. Makanya satu lembar uang Zimbabwenya itu bisa sampai 10 triliun sampai akhirnya di 2009 itu ditutup.
“Jadi, Zimbabwe itu mengalihkan mata uangnya ke ke dolar Amerika. Akhirnya mata uang Zimbabwe hilang dari negaranya,” beber Indra.
“Nah, yang rugi siapa? Masyarakat langsung, sebab masyarakat yang sudah berusaha, bersusah payah mendapatkan uang dengan nominal tersebut. Ternyata begitu dibelikan tidak sampai dengan apa yang dia inginkan karena udah naik lagi,” tutup Indra.[] Muhammad Nur
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat