Pengamat: Poin Penting dalam Kasus TKI di Jepang adalah Ada Akar Struktural

 Pengamat: Poin Penting dalam Kasus TKI di Jepang adalah Ada Akar Struktural

MediaUmat Pengamat Politik dan Media Hanif Kristianto menilai, poin penting dalam kasus pengibaran bendera perguruan silat Indonesia oleh para tenaga kerja Indonesia (TKI) di Jepang sehingga mendapat cibiran dari warganet Jepang bukan sekadar persoalan individual tapi juga ada akar struktural.

“Nah, yang paling penting dalam kasus TKI di Jepang yaitu bukan sekadar persoalan individual tapi juga ada akar struktural ya,” ungkapnya dalam Kabar Petang: Bendera Silat di Jembatan, WNI Banyak Tingkah di Jepang? di kanal YouTube Khilafah News, Kamis (17/7/2025).

Maksudnya, jelas Hanif, seperti ketiadaan penyaringan moral dan integritas pribadi secara ketat sebelum keberangkatan TKI.

“Memang tenaga-tenaga migran yang dikirim ke Jepang itu yang saya cermati, banyak LPK atau lembaga pembinaan untuk training bahasa. Sesekali mereka juga belajar tentang budaya kerja maupun budaya di sekitarnya. Namun, juga perlu kita ketahui bahwa tidak hanya itu juga ya, ada yang memang mereka melalui program magang. Program yang sifatnya juga teknis dan sebagainya. Nah, beberapa masalah skema ini misalnya yang pertama itu pada terkait dengan kuota ya bukan semacam kualitas SDM ya,” bebernya.

Kemudian, lanjutnya, ketimpangan sosial ekonomi di dalam negeri yang mendorong sebagian orang itu mengambil jalan pintas ke luar negeri tanpa kesiapan nilai dan karakter.

“Di sisi lain, Indonesia memiliki bonus demografi dan pasukan tenaga kerja ini melimpah ya. Makanya beberapa waktu yang lalu, kita disuruh cari kerja di luar negeri ya, di tengah-tengah job fair yang begitu ramai dan sempat viral itu,” tandasnya.

Selanjutnya, sambung Hanif, minim pengawasan negara terhadap agensi dan mitra pengiriman tenaga kerja serta ketidakadilan sistem imigrasi.

“Misalnya, kadang membuat pekerja asing itu berada dalam posisi inferior, rentan stres, terisolasi, dan depresi,” ujarnya.

Perlu Diingat

Ia memaparkan, yang perlu diingat bahwa lain tempat itu lain juga aturan dan budayanya. “Bisa jadi di sini tidak masalah, tapi di sana jadi masalah,” cetusnya.

Makanya, kata Hanif, membutuhkan kecerdasan, kepekaan sosial dan tanggung jawab negara.

“Sayangnya, kadang-kadang negara hampir melupakan itu dan negara juga tidak hanya bisa bersikap reaktif saat insiden TKI yang viral di luar negeri,” kritiknya.

Tutup Hanif, negara meski tanggung jawab sejak hulu dari bagaimana saat direkrut, pembekalan, serta pembinaan moral dan etika. Terutama, ketika TKI dikirim sebagai tenaga migran dan ingin menunjukkan bahwa diplomasi Indonesia itu tidak hanya bersifat protokoler dan ekonomi tapi juga menyangkut etika, moral, kemudian juga menyentuh dimensi pendidikan karakter, pemahaman lintas budaya, dan juga kesiapan mental untuk hidup di masyarakat yang memang multikultural seperti di Jepang.[] Novita Ratnasari

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *