MediaUmat – Menyoroti proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) Whoosh yang digagas pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan kini diduga menjadi beban puluhan triliun bagi keuangan negara, Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun menilai mantan presiden tersebut layak diadili atas penyalahgunaan kekuasaan yang terselubung di balik proyek ambisius itu.
“Jokowi layak diadili, karena dalam kasus ini bukan hanya soal pembengkakan biaya, tetapi ada penyalahgunaan kekuasaan yang sangat nyata,” tegasnya dalam diskusi KPK Usut Dugaan Korupsi Whoosh. Ubed: Jokowi Dkk Perlu Diperiksa, Kamis (29/10/2024) di kanal YouTube Abraham Samad SPEAK UP.
Menurut Ubedilah, proyek Whoosh bukan sekadar proyek infrastruktur bermasalah, melainkan cermin dari mental kekuasaan yang korup dan manipulatif.
Ia menilai proyek tersebut dijalankan tanpa transparansi, penuh kepentingan politik, dan merugikan keuangan negara secara besar-besaran.
“Proyek ini jelas bukan untuk kepentingan rakyat. Ia dijalankan dengan motif politik dan bisnis yang saling menumpang. Negara dipaksa menanggung beban keuangan akibat keputusan politik yang seharusnya menjadi tanggung jawab investor,” ujarnya.
Lebih jauh, Ubedilah menilai pola penyalahgunaan kekuasaan semacam ini tidak berhenti di proyek Whoosh. Ia melihatnya sebagai gejala sistemik yang telah menjadi karakter rezim Jokowi—yakni kekuasaan digunakan bukan untuk melayani rakyat, melainkan untuk mengamankan kepentingan ekonomi segelintir elite di lingkar kekuasaan.
“Selama Jokowi berkuasa, kita menyaksikan transformasi kekuasaan dari yang semestinya demokratis menjadi sangat oligarkis. Negara dikendalikan oleh segelintir orang dengan kepentingan bisnis yang besar. Itulah sebabnya kebijakan publik tidak pernah berpihak pada rakyat kecil,” jelasnya.
Ubedilah menegaskan bahwa praktik oligarki tersebut bukan lagi sekadar penyimpangan administratif, tetapi telah menjelma menjadi kejahatan kekuasaan yang sistemik. Ia mencontohkan proyek Ibu Kota Negara (IKN) yang sarat kepentingan politik dan bisnis, namun resikonya justru ditanggung rakyat.
“Proyek-proyek besar itu dijual dengan narasi pembangunan nasional, padahal yang terjadi adalah perampokan sumber daya publik. Kalau pembangunan macam ini dianggap keberhasilan, maka itu keberhasilan menipu rakyat,” tegasnya.
Ia menilai, kehancuran moral kekuasaan itu tercermin pula dalam lembaga penegak hukum yang kian kehilangan independensinya. Menurut Ubedilah, lembaga seperti KPK kini tak lebih dari alat politik rezim untuk melindungi kekuasaan.
“Lembaga hukum sekarang tidak lagi punya nyali untuk menegakkan keadilan. KPK dilemahkan, aparat diarahkan untuk melindungi penguasa. Ini menandakan Jokowi bukan hanya gagal menegakkan hukum, tapi justru menjadi bagian dari pelanggaran itu sendiri,” tandasnya.
Dalam pandangan Ubedilah, kondisi ini menunjukkan bahwa demokrasi substantif di Indonesia telah mati. Demokrasi yang dijalankan hanya formalitas belaka, sementara rakyat dipaksa menerima kebijakan yang justru menindas mereka.
“Rakyat terus disuguhi narasi keberhasilan, tapi faktanya banyak kebijakan yang menindas rakyat. Demokrasi yang dijalankan hari ini adalah demokrasi prosedural tanpa keadilan sosial,” ungkapnya.
Karena itu, menurut Ubedilah, tuntutan agar Jokowi diadili bukanlah reaksi emosional, melainkan konsekuensi logis dari penyalahgunaan kekuasaan yang terstruktur dan sistemik. Mengadili Jokowi, baginya, adalah simbol penegakan keadilan terhadap rezim yang telah melampaui batas etika dan hukum publik.
“Kalau bangsa ini ingin selamat, hukum harus ditegakkan kepada siapa pun, termasuk kepada Jokowi. Kalau tidak, kita sedang membiarkan kehancuran sistemik terjadi di depan mata. Dan itu sangat berbahaya bagi masa depan republik ini,” pungkasnya.[] Zainard
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat