Pengamat: Demokrasi Itu Memang Sistem yang Mahal

Mediaumat.info – Pengamat Politik Dr. Riyan menyatakan demokrasi itu memang sistem pemerintahan yang mahal.
“Demokrasi itu memang sistem yang mahal,” tuturnya dalam live streaming PPATK Temukan Transaksi Mencurigakan 100 Caleg Capai Rp51,4 T. Inikah Democrazy? di kanal YouTube PAKTA Channel (Pusat Analisis Kebijakan Strategis), Ahad (14/1/2024).
Jadi, jelas Riyan, tidak ada apa namanya hal-hal yang murah, kalau dalam istilah Barat no free lunch (tidak ada makan siang gratis). “Saya mungkin ingin katakan no vote (tidak ada suara), jadi tidak ada vote-nya, tidak ada suara yang kemudian itu free (gratis), semua ada harganya,” tegasnya.
Menurutnya, sehingga jauh-jauh hari orang itu sudah melakukan kajian terkait dengan sistem demokrasi, bahwa demokrasi yang mengklaim dirinya dari, oleh dan untuk rakyat, by the people, from the people, and for the people (oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat) itu sebenarnya adalah klaim yang ilusif.
“Kenapa saya katakan ilusif? Karena sesungguhnya apa yang kemudian terjadi, justru kedaulatan itu milik rakyat yang sesungguhnya berdaulat, atau yang memiliki kekuasaan. Untuk menentukan hal itu sebenarnya segelintir orang. Jadi segelintir orang ini siapa? Ya, para oligark-oligark, cukong kapitalis,” bebernya.
Riyan memaparkan sudah banyak penelitian yang banyak dilakukan terkait persoalan itu. Banyak disertasi yang intinya sebenarnya sama.
“Ada yang menggunakan bahasa, democrazy for sale, jadi demokrasi itu dijual, kemudian suara itu dijual dan itu confirm, maksudnya confirm itu tidak ditutup-tutupi begitu,” imbuhnya.
Ia meyakinkan, dengan adanya sebuah disertasi yang dibuat oleh seorang menteri, yang dulu seorang legislator. “Dalam disertasinya dikatakan bahwa dia, tidak hanya dia, tapi semua caleg yang menjadi anggota legislatif di DPR pusat, berarti biayanya mahal,” ungkapnya.
Riyan menegaskan, demokrasi di mana pun tidak ada yang murah. “Sehingga apa yang tadi dikatakan dengan adanya temuan PPATK itu sebenarnya tidak hal yang mengejutkan. Karena memang siklus itu akan terjadi nanti, 5 tahun yang akan datang, pilpres, pileg itu nanti pasti akan seperti itu juga sama. Seperti kalau kita mundur ke belakang ke 2019, 2014 misalnya atau 2009, 2004, itu semuanya pasti akan seperti itu polanya,” jelasnya.
Ia pun kembali menekankan suatu hal yang ilusi dalam demokrasi. Rakyat mengharapkan rakyat itu berdaulat, yang ada rakyat hanya dijadikan legitimasi, dan yang menikmati tentu mereka yang memiliki kekuasaan uang.
“Jadi uang ini dipakai untuk membeli kekuasaan,” pungkasnya.[] Nita Savitri