Pengakuan Rusia terhadap Pemerintah Afghanistan: Langkah Lebih Lanjut untuk Mencegah Munculnya Sistem Islam di Kawasan

 Pengakuan Rusia terhadap Pemerintah Afghanistan: Langkah Lebih Lanjut untuk Mencegah Munculnya Sistem Islam di Kawasan

Pada hari Kamis (3/7), Rusia mengumumkan bahwa mereka telah secara resmi menerima surat kepercayaan duta besar baru Afghanistan. Dengan demikian Rusia menjadi negara pertama yang mengakui pemerintah yang dipimpin Taliban.

Kantor Media Hizbut Tahrir Wilayah Afghanistan memandang bahwa pengakuan ini sebagai bagian dari proses yang lebih luas di mana rezim saat ini secara bertahap akan diintegrasikan ke dalam sistem negara-bangsa sekuler internasional. Sistem ini, seiring waktu, akan menjauhkan Taliban dari tujuan Islam yang sangat penting, yaitu menegakkan dan mengemban agama Allah (Islam). Lebih lanjut, pengakuan semacam itu dapat mengubah Afghanistan menjadi medan pertempuran persaingan di antara kekuatan-kekuatan regional dan internasional.

Sejak pergantian rezim di Afghanistan, Rusia secara aktif berupaya membangun hubungan yang kuat dengan otoritas baru. Pergeseran politik ini bermula dari kekhawatiran Rusia akan keamanan nasional dan kepentingan strategisnya di Asia Tengah. Moskow mengkhawatirkan kebangkitan Islam politik, penegakan kembali Khilafah, dan penyatuan umat Islam. Rusia berharap rezim Afghanistan saat ini dapat menekan Mujahidin di Asia Tengah. Karena alasan ini, pada 4 Juli 2024, Presiden Putin secara terbuka menyatakan: “Taliban tentu saja adalah sekutu kami dalam perang melawan terorisme.” Pernyataan tersebut jelas menunjukkan pandangan manipulatif dan instrumental Rusia terhadap pemerintah Afghanistan.

Pengakuan, dalam konteks saat ini, adalah alat politik modern yang digunakan untuk melayani kepentingan nasional negara-negara adidaya. Ini adalah bantuan politik yang diberikan Rusia semata-mata berdasarkan perhitungan strategisnya sendiri—dan Rusia mengharapkan pemerintah Afghanistan untuk mengejar dan mempertahankan bantuan ini dengan memprioritaskan kepentingan materi semata, mengabaikan semua standar lain, termasuk nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam. Sebagaimana Presiden AS Donald Trump memiliki harapan serupa terhadap rezim baru Suriah. Kekhawatiran bersama di antara negara-negara non-Islam ini menunjukkan strategi bersama mereka, yaitu membendung Islam politik dan mencegah munculnya tatanan Islam di kawasan.

Apalagi, keinginan untuk mendapatkan dukungan politik semacam itu dari negara-negara musuh seperti Rusia tidak berakar pada keyakinan Islam, melainkan pada pola pikir yang dibentuk oleh pragmatisme dan pandangan yang berorientasi pada keuntungan. Misalnya, Amanullah Khan mengirimkan surat resmi kepada Vladimir Lenin, meminta dukungan politik dari Uni Soviet, yang menjadi negara pertama yang mengakui pemerintahannya. Namun, secara historis—bahkan hingga sekarang di bawah Vladimir Putin—Rusia tetap menjadi salah satu musuh Islam dan kaum Muslim yang paling gigih, serta menjadi penghalang utama bagi persatuan umat Islam. Kejahatannya terhadap kaum Muslim di Rusia, Asia Tengah, Kaukasus, Suriah, Afghanistan, dan wilayah lainnya seperti cahaya matahari di siang hari.

Tidak diragukan lagi bahwa hubungan diplomatik, politik, dan ekonomi dengan negara-negara kafir harus sesuai dengan apa yang ditetapkan Islam, dan ada preseden historis dalam hal ini. Sejak zaman Nabi Muhammad saw, hingga zaman Khulafaur Rasyidin, dan seterusnya, hubungan luar negeri kaum Muslim senantiasa dilandasi oleh akidah Islam, serta konsep yang berkaitan dengan loyalitas dan berlepas diri (al-walāʾ wal-barāʾ). Kebijakan luar negeri Khilafah bertujuan menyebarkan Islam melalui dakwah dan jihad untuk memperluas wilayah kekuasaan Islam. Contoh nyata dari hal ini adalah pengiriman utusan Nabi saw ke istana-istana para kaisar pada masa itu.

Diplomasi dalam Islam didasarkan pada konsep-konsep seperti memenangkan agama, loyalitas dan berlepas diri (al-walāʾ wal-barāʾ), dan mengklasifikasikan negara sebagai Dār al-Islam atau Dār al-Kufr. Konsep-konsep ini tidak memiliki tempat dalam tatanan negara-bangsa sekuler; bahkan, konsep-konsep ini sering dianggap berbahaya. Rezim saat ini hanya dapat menjalankan kebijakan luar negeri dan diplomasi Islam jika bertujuan untuk membangun tatanan politik yang berakar pada Islam itu sendiri—bukan sistem yang terintegrasi ke dalam sistem sekuler. Hal ini hanya mungkin terjadi melalui penegakan kembali Negara Khilafah Rasyidah kedua ‘ala minhājin nubuwah. Jika tidak, maka negara saat ini secara bertahap akan terjerumus ke dalam penyimpangan, didorong oleh realisme politik dan keterikatan dengan tatanan dunia sekuler.

Sayangnya, ini adalah kesesatan politik yang telah dilakukan oleh para penguasa lain di negeri-negeri Islam—bahkan terus dilakukan hingga kini—yang menyebabkan tangan mereka terikat oleh batasan-batasan tatanan dunia sekuler.

﴿الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِندَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ العِزَّةَ لِلّهِ جَمِيعاً﴾

(Yaitu) orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai pelindung dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? (Ketahuilah) sesungguhnya semua kemuliaan itu milik Allah.” (TQS. An-Nisā’ [4] : 139).

 

Kantor Media Hizbut Tahrir di Wilayah Afghanistan

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *