Peneliti INDEF Ungkap Penyebab Pembengkakan PSN Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung

Mediaumat.news – Pembengkakan biaya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dinilai Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Dr. M. Rizal Taufikurrahman disebabkan oleh beberapa hal.

“Pembengkakan Proyek Strategis Nasional (PSN) Kereta Api Cepat Jakarta Bandung terjadi disebabkan oleh beberapa hal,” tuturnya kepada Mediaumat.news, Jumat (16/7/2021).

Pertama, penyusunan dan pengelolaan anggaran proyek dari awal penyusunan anggaran hingga realisasi/impelementasi tidak akurat. Rizal mengatakan, akurasi dan prediksi anggaran proyek yang buruk ini, sejak awal terlihat. Hal ini disebabkan tidak matang dan terburu-buru dalam menyusunnya. “Termasuk terhadap antisipasi terjadinya perubahan biaya saat pelaksanaan proyek yang sangat membengkak (cost overrun) dimana mencapai pada besaran 23 persen. Seperti misalnya biaya pembebasan lahan,” ujarnya.

Kedua, biaya pelaksanaan proyek yang terlalu besar dibandingkan dengan biaya perencanaan. Menurutnya, hal ini dikarenakan pengelola anggaran proyek yang tidak profesional. “Bahkan mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam penggunaan anggaran. Early Warning System (EWS) dalam keuangan penggunaan anggaran proyek juga tidak berjalan dengan baik,” ungkapnya.

Ketiga, adanya renegosiasi antara-pelaku perusahaan konsorsium terkait dengan proporsi tanggung jawab (share) dari kesepakatan awal mengenai kepemilikan saham. Menurut Rizal, munculnya hal ini dikarenakan adanya cost overrun yang sangat besar dalam mengendalikan pembiayaan proyek. “Yang ditanggung oleh pihak BUMN Indonesia sebagai pemegang saham sebesar 60%. Hal ini memunculkan perlunya dilakukan renegosiasi porsi kepemilikan saham BUMN agar dikurangi terhadap pihak konsorsium dari China, sebagai mitra proyek,” tegasnya.

Beban Negara

Rizal menilai akibat terjadinya pembengkakan biaya proyek tersebut, menyebabkan terjadinya penundaan proyek dan berpengaruh pada lambatnya penyelesaian proyek. “Tentu hal ini mempengaruhi kinerja proyek dan mempengaruhi biaya. Kondisi ini, tidak hanya akan membebani negara, tetapi juga beban terhadap konsorsium itu sendiri,” ungkapnya.

Menurutnya, bahkan kondisi ini mendorong BUMN mengajukan suntikan dana dari APBN sebesar Rp 8.56 Triliun. “Yang barang tentu akan mempengaruhi tambahan beban APBN apalagi di tengah pandemi,” ujarnya.

Untuk itu, Rizal mengungkap, perlu dilakukan perhitungan ulang berkaitan dengan biaya proyek. Perlu dilakukan evaluasi penganggaran mulai perencanaan hingga pelaksanaan. Dicarikan solusi pembiayaan proyek yang paling efisien dengan prinsip tidak menambah pembiayaan yang akan membebani keuangan negara. “Jika tidak diperoleh solusi yang tepat, maka berpotensi menambah beban berat APBN. Padahal sedari awal, proyek ini tidak akan menggunakan keuangan APBN,” ungkapnya.

Oleh karena itu, menurutnya, perlu didudukkan bersama semua pihak konsorsium KCIC agar dicarikan solusi. “Renegosiasi yang saling menguntungkan berbagai pihak menjadi salah satunya. Misalnya, porsi saham 4 perusahaan BUMN sebesar 60% bisa ditinjau ulang dengan mitra proyek pihak China yang hanya sebesar 40%,” sarannya.

Menurutnya, jika pembengkakan biaya proyek PSN kereta api cepat Jakarta Bandung tidak segera dicarikan solusi, maka tentunya dilematis yang semakin berat terjadi. “Jika kucuran dana talangan APBN terhadap BUMN atas permasalahan ini berjalan, maka menjadi berat juga pengembalian BUMN atas talangan ini,” bebernya.

“Termasuk apabila kembali mengandalkan pendanaan dari pihak mitra China, maka akan muncul dua konsekuensi, yaitu pinjaman dan penambahan penyertaan modal atas porsi sahamnya,” imbuhnya.

Lebih lanjut, ia mengatakan, kedua konsekuensi ini akan memunculkan adanya permintaan garansi pihak pemerintah China dan terganggunya kemandirian serta nilai strategis pihak Indonesia atas proyek ini. Selain itu jangan sampai merugikan dan mengorbankan kepentingan bangsa dan kemandirian konsorsium BUMN nasional Itu sendiri. Yang sudah barang tentu akan memicu peluang masuknya banyak kepentingan di luar dari tujuan proyek awal.

“Tentunya hal ini akan lebih sulit dalam memonitor dan mengendalikan. Termasuk para ‘oligarki’ bisnis yang bermental ‘rent seeker’ akan sangat mudah mempengaruhinya,” pungkasnya. [] Achmad Mu’it

Share artikel ini: