Mediaumat.id – Resesi yang dialami oleh negara-negara Eropa yang tergabung dalam Eurozone dinilai oleh Ekonom Pusat Analisis Kebijakan Strategis (PAKTA) Muhammad Hatta semakin menunjukkan kerusakan ekonomi kapitalis.
“Ekonomi kapitalis terseok-seok dan semakin nampak kerusakannya,” ungkapnya di Kabar Petang: Eropa Jatuh, Cina Melambat, Rupiah Aman? melalui kanal YouTube Khilafah News, Kamis (15/6/2023).
Ia menjelaskan Eurozone (negara-negara Eropa yang menggunakan mata uang euro) mengalami pertumbuhan ekonomi negatif selama dua kuartal berturut-turut. “Tumbuh negatif berarti roda ekonomi berjalan lambat seiring pengetatan moneter yang tinggi di Uni Eropa termasuk Amerika,” jelasnya.
Pengetatan moneter, lanjutnya, berarti suku bunga bank sentral naik drastis karena dipicu inflasi. “Resesi adalah bagian dari fase siklus ekonomi. Ketika inflasi terlalu tinggi, akan direm dengan suku bunga yang tinggi, sehingga inflasi turun tetapi ekonomi melambat,” terangnya.
Konsekuensi dari melambatnya ekonomi ini, ucapnya, akan terjadi PHK, investasi dikurangi. Sementara penawaran tenaga kerja terus tumbuh, hingga mengakibatkan pengangguran lebih banyak lagi.
“Kalau dalam kacamata kami, menaikkan tingkat suku bunga itu tidak tepat, karena yang bermasalah sektor penawaran bukan permintaan. Jikalau penawaran dikekang dengan suku bunga justru ekonomi akan semakin jatuh. Tapi seperti itulah gaya pengelolaan ekonomi dalam ekonomi yang kapitalistik,” tandasnya.
Aturan Main
Menurut Hatta, selama aturan main tata kelola ekonomi masih kapitalistik, tidak banyak yang bisa dilakukan.
Ia memberikan contoh kasus di Indonesia. Data dari Bank Indonesia, transaksi berjalan ekspor dan impor barang dan jasa, termasuk pendapatan primer dan sekunder, Indonesia surplus 13,1 miliar US$. Tapi itu dibalikkan oleh transaksi keuangan yang defisit mencapai 8,8 miliar US$.
“Jadi kekuatan ekspor kita itu tidak bisa ngapa-ngapain. Menjadi hal yang sia-sia ketika transaksi keuangan kita masih dengan sangat mudah dikelabuhi investor yang kapitalistik itu,” bebernya.
Tahun 2022 Indonesia produksi batu bara 600 juta ton. Sekitar 400 juta ton diekspor. “Indonesia mandi dolar, tapi siapa yang mandi dolar? Ya pengusaha-pengusaha pemilik perusahaan batu bara,” kesalnya.
Padahal, lanjutnya, ketika ekspor surplus harusnya rupiah naik. Tapi tahun 2022 rupiah justru anjlok terdepresiasi dan sampai sekarang tidak keluar dari zona buruk.
“Artinya kita mati-matian bicara tentang industri, ekspor, impor, tapi kalau tata kelola keuangannya membebaskan bagi eksportir kapitalistik, kayaknya tidak bisa berbuat banyak. Kondisi ini akan terus terjadi kalau tata kelola ekonomi kita mengikuti kapitalisme dengan totalitas. Tidak akan ada solusi paripurna untuk bisa keluar dari masalah,” kritiknya.
Ia mencontohkan lagi, tahun 2022 ekspor Indonesia ke Cina hampir 56% dalam bentuk bahan baku yang kemudian diolah oleh Cina. “Sementara kita memproduksi produk jadi yang nilai tambahnya sudah demikian tinggi bagi pemerintah Cina. Jadi keuntungannya berlipat ganda bagi pemerintah Cina,” ungkapnya.
Indonesia, sambungnya, ekspor impornya dan transaksi keuangannya dimanfaatkan negara lain.
“Apa yang bisa ditawarkan oleh ekonomi kapitalistik seperti itu, enggak ada! Kita harus betul-betul dengan sungguh-sungguh melakukan perubahan tata kelola ekonomi. Kalau tidak, selamanya akan menjadi negara sapi perah,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun