Pakar Balaghah: Kategori Iman Kafir Relevan Sepanjang Zaman

Mediaumat.id – Pernyataan yang menyebut ‘kategori kafir tidak relevan dalam konteks negara bangsa modern saat ini’ dibantah oleh Pakar Balaghah Ajengan Irvan Abu Naveed dengan mengatakan kategori iman kafir adalah kategorisasi al-Qur’an yang relevan sepanjang zaman.

“Iman-kafir adalah kategorisasi Al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan ajaran yang cocok dan paling sesuai untuk setiap manusia termasuk dalam konsep relasi bernegara modern saat ini. Karena Al-Qur’an relevan setiap masa berarti mencakup masa sekarang,” tuturnya dalam acara Kabar Petang: Kategori ‘Kafir’ Tidak Relevan? di kanal YouTube Khilafah News, Selasa (4/4/2021).

Menurutnya, kategorisasi iman kafir ditemukan ratusan ayat dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an ketika memunculkan suatu istilah berikut konsepnya berupa hukum-hukum fikih dan hukum-hukum syariat.

“Kalau dikatakan tidak relevan seakan akan ingin mengatakan bahwa konsep Al-Qur’an ini tidak relevan diterapkan di zaman sekarang. Ini pernyataan yang sangat berbahaya dan saya kira perlu dikritisi karena imbasnya panjang, berkaitan dengan konsep-konsep hukum hukum fikih, hukum-hukum syariah,” tandasnya.

Ia mencontohkan ketika Imam Syafii membahas tentang kafir harbi, kafir dzimmi sampai pada konsep tentang status darul Islam dan darul kufur, konsep tersebut muncul dengan merujuk Al-Qur’an. Ini menunjukkan konsep-konsep rinci dalam Islam itu sendiri.

“Istilah kafir itu istilah Al-Qur’an yang banyak turunannya dan tidak mungkin kita hilangkan. Karena kita meyakini setiap istilah dalam Al-Qur’an mengandung ajaran Islam. Ajaran ini wajib dihormati sebagai konsep ajaran Islam,” tegasnya.

Ia menegaskan seorang Muslim wajib membaca konsep iman kafir ini dengan perspektif Islam bukan perspektif liberal. Konsep iman kafir bukan konsep permusuhan tapi untuk menunjukkan pembedaan. Pembedaan tadi menunjukkan kategorisasi perincian dari hukum-hukum Islam itu sendiri.

Ia tidak sependapat kalau istilah kafir ini menjadi istilah yang memecah belah antar umat beragama. Karena dalam prakteknya, dulu orang-orang kafir yang tunduk pada Daulah Islam (kafir dzimmi) justru mereka terjaga darah, kehormatan juga hartanya.

“Berkebalikan dengan zaman sekarang ketika umat Islam di bawah kepemimpinan kapitalisme, komunisme yang ada umat Islam jadi korban bulan-bulanan, pembantaian pembunuhan. Sampai sekarang kaum Muslim di Rohingya, Palestina menjadi korban pembantaian,” tegasnya.

Ajengan Irvan menilai larangan penggunaan istilah kafir ini kental dengan unsur politik. “Kita bisa mencium bau yang sangat kuat dari aroma politik. Ada unsur kepentingan politik,” tegasnya.

Buktinya, lanjutnya, kategorisasi iman-kafir yang jelas ini merupakan hal prinsip bagi seorang Mukmin justru dikaburkan. Pada saat yang sama umat Islam justru dipecahbelah dengan istilah radikal-moderat.

“Yang diuntungkan dalam isu pecah belah radikal-moderat ini bukan kaum Muslim. Kaum Muslim justru dirugikan. Umat Islam terutama para ulama dan dai yang kritis disematkan kepada mereka predikat radikal yang tidak boleh diundang. Ini kan mengandung monsterisasi, mengandung unsur kebencian, permusuhan. Digiring untuk memusuhi para ustaz, para ulama yang dilabeli radikal itu,” kesalnya.

Ajengan Irvan menegaskan, adanya bahaya perang istilah ini dengan mengutip tafsir dari Syekh Atha Abu Rustha saat menafsirkan ayat yang mengandung istilah kafir tadi: “Janganlah kalian mengucapkan kata ra’ina kepada Nabi SAW tapi ucapkan undzurna.”

“Dalam penafsiran ayat ini Syekh Atha menyiratkan ketika Allah menyadarkan bahaya istilah di balik kata ra’ina. Orang-orang Yahudi (orang kafir) dahulu mereka menyimpangkan dengan menggunakan perang istilah. Istilah ra’ina itu mereka simpangkan kepada makna ru’una. Ru’una itu maknanya penghinaan, yaitu bebal atau sangat bodoh yang ditujukan kepada Nabi SAW. Allah SWT memperingatkan bahaya perang istilah ini,” paparnya.

Jadi, simpulnya, umat Islam mengucapkan ra’ina kemudian diselewengkan oleh orang Yahudi dengan ru’una. Ini perang istilah yang Allah mengingatkan bahayanya dan diganti saja dengan undzurna.

“Ini menunjukkan umat Islam harus memiliki kesadaran politik terhadap ancaman-ancaman di sekitarnya, paham-paham di sekitarnya. Ini penting karena Allah sendiri sudah mengajarkan urgensi kesadaran politik di balik ayat-ayat tersebut,” pesannya.

“Artinya perlu ada daya kritis dari umat Islam. Para ulama punya tanggung jawab untuk mendidik umat agar memiliki kesadaran politik,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun

Share artikel ini: