Oleh Sulistiawati Usman
Politisi Muslimah
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mendefinisikan reformasi perpajakan sebagai upaya pembenahan berkelanjutan yang mencakup perbaikan organisasi, penguatan sumber daya manusia, reformasi proses bisnis, modernisasi teknologi informasi dan basis data, serta penyempurnaan regulasi. Semua itu dilakukan agar DJP menjadi institusi yang “kuat, kredibel, dan akuntabel,” mendorong peningkatan kepatuhan dan memperkuat penerimaan negara—nyaris tanpa kecuali, reformasi ini diklaim sebagai solusi terbaik untuk menyehatkan sistem perpajakan kita .
Secara teori, gagasan ini tampak meyakinkan. Namun bila diperhatikan lebih seksama, reformasi pajak namun sungguh disayangka , ternyata sama sekali tidak menyentuh akar persoalan. Esensi pajak dalam sistem ekonomi kapitalis adalah sebagai institusi pemeras mandiri dan sistemik. Pajak dipungut secara memaksa dari rakyat—tanpa peduli betapa rapuh kondisi ekonomi mereka. Sementara pengusaha besar bisa menikmati tax holiday atau memanfaatkan celah hukum untuk menghindar, rakyat kecil tetap dipaksa menanggung beban. Hal ini diperparah oleh fakta bahwa segala kekuatan ekonomi—tambang, minyak, gas, hutan, dan air—bukan dikelola untuk rakyat, melainkan dikendalikan oleh segelintir elit atau entitas asing, sehingga negara lebih memilih menggali dari kantong rakyat, bukan mengolah kekayaan publik secara langsung.
Kerapuhan sistem ini benar-benar akan terasa kala krisis menghampiri tanpa henti. Ketika aktivitas ekonomi melambat, penghasilan turun drastis, dan konsumsi melemah, penerimaan pajak pun langsung merosot. Akibatnya, keuangan negara menjadi rapuh, sementara rakyat tetap harus menyetorkan pajak. Tentu ini sama dengan menjadikan pajak sebagai jebakan yang menjerat . Bukti nyata bahwa sistem ini tidak hanya tidak adil, tapi juga tak berkelanjutan.
Sementara itu, sistem ekonomi berdasarkan Islam menawarkan alternatif yang jauh lebih adil dan stabil. Dalam Islam, kekayaan alam yang melimpah—tambang, hutan, minyak, gas, laut, air—dianggap milik umum dan menjadi amanah bagi negara. Negara bertindak sebagai pengelola yang adil, menggunakan hasil pengelolaan untuk kebutuhan vital dan strategis rakyat, seperti pendidikan, kesehatan, transportasi yang nyaman, keamanan, dan air bersih. Kalaupun ada praktek pajak (dharibah),itu hanya muncul sebagai instrumen sementara dalam situasi darurat ketika baitul mal kosong dan kebutuhan mendesak muncul, bukan sebagai dasar finansial tetap negara. Ini memastikan bahwa rakyat tidak dijadikan obyek pungutan permanen, melainkan penerima manfaat langsung dari kekayaan milik umum.
Jika reformasi pajak hanya memperbaiki mekanisme tanpa mengubah paradigma—yaitu menjadikan rakyat sebagai penopang utama keuangan negara dengan mengabaikan sisi keadilan, maka krisis akan terus berulang. Karena itu penting adanya kesadaran kolektif dan paripurna dari rakyat untuk melirik kembali sistem ekonomi yang pernah terbukti berdampak positif. Sistem Islam, yang mengedepankan pengelolaan kekayaan alam sebagai amanah bagi kesejahteraan umat, bukan malah menjadikan beban bagi mereka, adalah pilihan yang layak dibuka kembali. Selama negara masih menggantungkan keberlangsungan keuangannya pada akar pajak yang membebani rakyat, kesejahteraan hanya akan tetap menjadi slogan, bukan realitas.[]
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat