Pajak Itu Berbeda dengan Zakat

Oleh: dr. Mohammad Ali Syafi’udin

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membeberkan persamaan antara pajak dengan kewajiban membayar zakat dan wakaf bagi yang mampu dalam syariat Islam. Menurutnya, keduanya memiliki manfaat yang sama, yaitu kembali kepada orang yang membutuhkan.

“Dalam setiap rezeki dan harta yang kamu dapatkan ada hak orang lain. Caranya hak orang lain itu diberikan ada yang melalui zakat, wakaf, ada yang melalui pajak, dan pajak itu kembali kepada yang membutuhkan,” kata Sri Mulyani dalam acara Sarasehan Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah, Rabu (13/8/2025).

Istilah Pajak dan Zakat dalam Pandangan Islam

Dalam bahasa arab ada istilah al-‘usyur, al-maks, adh-dharibah, al-kharaj dan al-jizyah. Seringkali kita membaca atau mendengar istilah-istilah tersebut diterjemahkan sama maknanya yakni pajak. Padahal istilah-istilah tersebut secara fiqih memiliki makna yang berbeda.

‘Usyur adalah hak kaum muslim yang diambil dari harta perdagangan kafir dzimmi dan kafir harbi yang melewati perbatasan negara khilafah.

Besarnya pungutan dari para pedagang kafir dzimmi dan kafir harbi merupakan wewenang dari kepala negara atau Khalifah. Ia berhak menambah atau mengurangi sesuai dengan kesepakatan damai yang telah ditetapkan dan juga sesuai dengan perlakuan seimbang (“mu’āmalah bil mitsli”) sebagaimana mereka negara kafir harbi memperlakukan para pedagang muslim ketika masuk ke negara mereka maka mereka menarik pungutan sebesar 10%. Dari sinilah pungutan 10% dinamakan ‘usyur.

Namun penetapan tarif sebesar 10% (al-‘usyur) oleh negara Islam ini sesungguhnya bukanlah tarif yang sifatnya fīxed (tetap), praktik ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab r.a. dengan prinsip “mu’āmalah bil mitsli” (perlakuan yang semisal/setara). Hal ini karena waktu itu barang dari negara Islam yang masuk ke negara asing (Dārul Harbi), dikenakan bea masuk sebesar 10% oleh negara asing tersebut. Maka Umar pun merespon dengan mengenakan tarif sebesar 10% (al-‘usyr) ketika ada barang yang masuk dari negara asing (Dārul Harbi) ke dalam wilayah negara Islam.

Al-maks : segala pungutan diambil secara dzalim. Dalam kitab al-mausu’ah al-kuwaitiyah al-fiqhiyyah hal 379
Al-mukus jamaknya Al-maksu yakni harta diambil dari pemiliknya tanpa hak.

Yang termasuk kedalam al-maks adalah Negara mewajibkan pajak tanpa adanya kebutuhan yang mendesak, negara mewajibkan pajak dalam bentuk keputusan pengadilan atau pungutan biaya di muka dalam urusan administrasi negara, negara mewajibkan pajak atas transaksi jual beli tanah dan pengurusan surat-suratnya, negara menarik beacukai atas kaum muslim yang melakukan perdagangan internasional dan lain-lainnya.

Adh-dharibah adalah harta yang diwajibkan oleh Allah kepada kaum muslimin untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang wajib atas mereka di mana pada kondisi ini Baitul mal dalam keadaan tidak ada harta.

Terkait kebutuhan-kebutuhan dan pos-pos yang wajib dipenuhi oleh Baitul mal tersebut yakni meliputi pembiayaan jihad, pembiayaan industri militer dan industri penunjangnya, pembiayaan para fakir miskin, Ibnu Sabil, pembiayaan untuk gaji para tentara, pegawai negri, hakim guru dan lain-lain, pembiayaan yang harus dikeluarkan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan umat yang keberadaannya sangat dibutuhkan yang jika keberadaannya tidak ada maka bahaya akan menimpa umat, misalnya Rumah Sakit, Jembatan dan lain-lainnya dan pembiayaan untuk keadaan darurat, misalnya bencana alam.

Pada dasarnya pemasukan rutin Baitul mal yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai hak kaum muslim dan menjadi kewajiban Baitul mal seperti al-fa’i, al-kharaj, al-‘usyur, harta milik umum, harta milik negara dan lain-lain, sebenarnya sudah cukup untuk mengurusi urusan rakyat dan melayani kepentingan mereka. Dalam hal ini tidak perlu lagi mewajibkan pajak, baik langsung maupun tidak langsung. Namun jika terjadi kondisi di mana berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang wajib dipenuhi oleh Baitul mal dan sementara Kas negara atau Baitul mal dalam keadaan kurang atau tidak ada harta maka negara boleh mewajibkan pajak (adh-dharibah) hanya untuk menutupi kekurangan biaya terhadap berbagai kebutuhan dan pos-pos yang diwajibkan tanpa berlebih. kewajiban membayar pajak tersebut hanya dibebankan atas kaum muslim yang memiliki kelebihan harta setelah mereka mampu memenuhi kebutuhan dasar dan pelengkapnya secara sempurna sesuai dengan standar hidup mereka tinggal.

Sementara pajak sekarang ini yang di tarik oleh negara secara rutin adalah suatu kedzaliman. karena itu ia termasuk “al-maks” yakni pungutan pajak yang dilarang oleh syari’at, bukan termasuk pajak yang dibolehkan oleh syara’ (“adh-dharibah” ).

Rasulullah saw. bersabda:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ

, “Tidaklah masuk surga orang yang menarik al-maks ( pungutan yang diambil secara dzalim’)”.(HR Ahmad, Al-Hakim & Abu Dawud).

Al-Kharaj merupakan hak yang diberikan oleh Allah Subhanahu wata’ala kepada kaum Muslim dari kaum Kafir. Al-Kharaj adalah hak yang dikenakan atas lahan tanah yang telah diambil dari tangan kaum kafir, baik dengan cara perang maupun damai. Jika perdamaian menyepakati bahwa tanah tersebut milik kaum muslim, dan mereka pun mengakuinya dengan membayar kharaj, maka mereka harus menunaikannya. Yang dikenakan Al-Kharaj adalah tanah pertanian atau perkebunan bukan tanah yang didirikan untuk tempat tinggal atau bangunan.

Al-jizyah adalah hak yang diberikan oleh Allah SWT kepada kaum muslim dari orang-orang kafir karena adanya ketundukan mereka pada pemerintahan Islam. Al-jizyah diambil dari orang laki-laki kafir selama mereka tetap kufur, baligh dan berakal. Namun jika mereka telah memeluk Islam maka gugur membayar al-jizyah.

Kadar penarikan al-jizyah itu berbeda-beda. Sebagaimana Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu anhu pernah menetapkan ahlu dzimah menjadi tiga golongan : kaya (ghaniy), menengah (metawassith), pekerja yang berpenghasilan (Al Amil Al mutakasib). Besarnya al-jizyah sesuai dengan pendapat dan ijtihad khalifah yang didasarkan pada pendapat ahli yang bisa membedakan terhadap tiga golongan tersebut. Disamping itu juga tidak boleh menyusahkan ahlu dzimmah, tidak membebani mereka di atas kemampuannya dan sebaliknya juga tidak menzalimi Baitul mal dengan mengurangi haknya.

Bagi ahlu dzimmah yang kesulitan atau i’sar dia tidak dituntut untuk membayar jizyah, namun dia harus membuktikan bahwasanya dia memang tidak mampu. Tetapi jika dia sebenarnya mampu dan tidak mau membayar dengan menunda-nunda pembayarannya maka bisa diberikan sanksi.

Zakat secara syar’i adalah sejumlah tertentu yang wajib dikeluarkan dari harta tertentu pula. Zakat merupakan salah satu ibadah dan salah satu rukun dari rukun-rukun Islam seperti shalat, puasa, dan haji. Zakat hanya wajib atas kaum muslim selain mereka tidak diambil zakat.

Zakat adalah fardhu ain atas setiap muslim yang memiliki harta yang mencapai nisab, setelah dikurangi hutang-hutangnya di samping telah mencapai satu tahun atau “haul”. Kewajiban zakat tidak mengikuti keperluan negara serta kemaslahatan umat, tidak seperti yang terjadi pada harta pajak yang dipungut dari umat karena ada keperluan yang wajib dibiayai oleh Baitul mal. zakat merupakan hak bagi delapan asnaf yang wajib dimasukkan ke Baitul mal, baik ada keperluan ataupun tidak. Mustahik zakat hanya untuk delapan asnaf yaitu orang-orang yang telah ditentukan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an di dalam surat at-taubah ayat 60

Zakat bukan hak Baitul mal. Baitul mal hanyalah tempat penyimpanan harta zakat untuk kemudian didistribusikan kepada orang-orang yang telah ditentukan di dalam ayat sesuai dengan pendapat dan ijtihad khalifah tentang mereka.

Kesimpulan:

Dari penjelasan di atas maka secara garis besar bisa disimpulkan

Al-‘usyur adalah pungutan atau pajak atas orang-orang kafir yang melakukan perdagangan melewati batas Negara khilafah. Besarnya pungutan sesuai dengan kesepakatan damai yang telah ditetapkan terhadap ahlu dzimmi dan juga sesuai dengan perlakuan seimbang (“mu’āmalah bil mitsli”) terhadap ahlu harbi.

Al-maks adalah pajak yang diambil secara dzalim dan hukumnya haram. Misalnya penarikan pajak oleh negara secara rutin, penarikan bea cukai atas kaum muslim yang melakukan perdagangan internasional dan lain-lainnya.

Adh-dharibah adalah pajak yang diwajibkan atas kaum muslim karena ada kebutuhan yang wajib dibiayai oleh Baitul mal, sementara Baitul mal tidak ada harta. Hukumnya boleh bagi negara bila dua syarat tersebut terpenuhi.

Al-Kharaj adalah pajak atas Tanah yang dikuasai kaum muslim dari orang-orang kafir baik melalui perang maupun perjanjian damai. Tanah yang dikenai pajak adalah tanah pertanian atau perkebunan, bukan tanah untuk tempat tinggal atau bangunan.

Al-jizyah adalah pajak atas orang-orang kafir yang tunduk pada negara Islam.

Zakat adalah sejumlah tertentu yang wajib dikeluarkan dari harta tertentu pula. Zakat merupakan salah satu ibadah dan salah satu rukun dari rukun-rukun Islam seperti shalat, puasa, dan haji. Zakat hanya wajib atas kaum muslim selain mereka tidak diambil zakat.

Jadi apa yang disampaikan oleh menteri keuangan bahwasanya pajak sama dengan zakat adalah merupakan suatu kesalahan dan menyesatkan. Karena yang dimaksud pajak menurut menteri keuangan itu sebenarnya termasuk jenis pajak al-maks yakni pajak yang dilarang oleh syara’ karena ditarik oleh negara secara rutin dan terus-menerus. Zakat adalah kewajiban dan bernilai pahala, sedangkan pajak dalam sistem kapitalisme itu haram dan berdosa memungutnya.

Wallahu a’lamu bi ash- shawab

Rujukan

1. https://financedotdetikdotcom/berita-ekonomi-bisnis/d-8058533/sri-mulyani-sebut-bayar-pajak-sama-mulianya-dengan-zakat-dan-wakaf

2. Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, _Al-Nizhām Al-Iqtishādī fī Al-Islām,

3. Abdul Qadim Zallum, _Al-Amwāl fī Daulat Al-Khilāfah,

4. kitab al-mausu’ah al-kuwaitiyah al-fiqhiyyah hal 379

Share artikel ini: