OJK Wajibkan Co-payment, Memperjelas Negara sebagai Regulator Kapitalisme

MediaUmat Surat edaran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mewajibkan asuransi kesehatan menerapkan pembagian risiko (co-payment) yakni pemegang polis, tertanggung, atau peserta paling sedikit menanggung sebesar 10 persen dari total pengajuan klaim, menurut Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana memperjelas bahwa negara saat ini hanya berperan sebagai regulator sistem kapitalisme bukan pelayan rakyat.

“Surat edaran OJK tentang co-payment ini memperjelas bahwa negara saat ini hanya berperan sebagai regulator sistem kapitalisme bukan pelayan rakyat,” tuturnya kepada media-umat.com, Senin (9/6/2024).

Sistem ini, jelas Agung, menjadikan sakit sebagai peluang bisnis bukan sebagai amanat pelayanan. Sebaliknya di dalam Islam, kesehatan adalah hak rakyat dan kewajiban negara untuk memberikan pelayanan.

“Oleh karena itu, solusi mendasar bukanlah sekadar merevisi kebijakan teknis tapi perubahan sistemik menuju sistem yang adil yakni sistem Islam,” tegasnya.

Dalam kapitalisme, jelas Agung, asuransi yang dijadikan solusi pasar, padahal ia tetap mencari keuntungan bukan memberikan pelayanan. “Masyarakat yang miskin dan sakit ya semakin terbebani dengan ini semua,” papar Agung.

Sedangkan, dalam pandangan Islam, kata Agung, negara itu wajib menjamin kesehatan. Dalam sistem Islam, pelayan kesehatan itu adalah negara bukan diserahkan kepada pasar atau mekanisme pasar atau dengan skema asuransi. Negara mengambil peran aktif sebagai pelayan umat atau sebagai ra’in (pemelihara) bukan sebagai korporasi.

“Rasulullah SAW pernah bersabda kan, al imamu ra’in wahuwa mas’ulun an ra’iyyatihi (artinya) imam atau khalifah itu adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dipeliharanya,” kata Agung.

Ia menceritakan, di masa Umar bin Khattab dan para khalifah berikutnya itu pengobatan gratis bagi rakyat dan ini dibiayai dari Baitul Mal.

Oleh karena itu, kata Agung, solusi Islam terhadap layanan kesehatan itu pertama, kesehatan itu disediakan gratis oleh negara di seluruh lini layanan dasar maupun layanan lanjutan.

Kedua, pendanaan itu diambil dari pos baitul mal terutama dari harta milik umum, misalnya tambang, minyak, gas yang jumlahnya sebenarnya berlimpah di Indonesia. Terus nanti juga bisa diambil dari ghanimah, jizyah, maupun kharaz.

“Nah pelayanan kesehatan itu dikelola oleh negara bukan diswastanisasi. Kalaupun ada pribadi (personal) ingin membuka layanan kesehatan ya bukan dikomersialisasikan, tapi bagian dari wujud ta’awun kepada kaum Muslimin. Tapi utamanya negara yang harus benar-benar hadir,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: