Normalisasi dengan Israel, FIWS: Pengkhianatan Penguasa Sudan

Mediaumat.id – Normalisasi yang dilakukan pemerintahan Sudan dengan Israel, dinilai sebagai bentuk pengkhianatan terhadap Islam. “Jelas ini merupakan bentuk pengkhianatan dari penguasa Sudan sekarang,” ujar Direktur Forum on Islamic World Studies (FIWS) Farid Wadjdi kepada Mediaumat.id, Rabu (8/2/2023).
Padahal sebelumnya, selama 30 tahun negara yang memiliki julukan ‘Negeri Dua Nil’, dengan mayoritas masyarakat memeluk agama Islam itu menjadi negara dengan pemerintahan Islam yang anti-Israel.
Namun sekadar diketahui, pada September 2020, sebelum menormalisasi hubungan dengan Israel, negara itu memutuskan menjadi sekuler sebagai bagian dari kesepakatan damai antara pemerintah dengan kubu pemberontak.
Detailnya pada 2020 lalu, kelompok pemberontak Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan-Utara sepakat berdamai dengan kubu pemerintah dan membentuk pemerintahan transisi yang kemudian setuju untuk memisahkan urusan agama dari negara.
“Agar Sudan menjadi negara demokratis di mana hak semua warga negara diabadikan, konstitusi harus didasarkan pada prinsip ‘pemisahan agama dan negara’,” bunyi dokumen kesepakatan tersebut.
Sekarang, Sudan membuat sejarah baru lagi dengan sepakat untuk melakukan normalisasi dengan Israel.
Lebih lanjut, Farid pun mengatakan, normalisasi dengan penjajah Yahudi Israel ini disebut pengkhianatan karena ini adalah bentuk pengakuan terhadap entitas penjajah Yahudi sebagai sebuah negara. “Itu berarti bentuk pengakuan terhadap (negara) penjajah yang menduduki negeri Islam, Tanah Al-Quds,” tandasnya.
Lebih dari itu, sambungnya, dengan diakuinya Israel sebagai negara terutama oleh negeri-negeri Muslim maka ini akan menjadi alat legitimasi setiap kebijakan-kebijakan keji yang dilakukan oleh entitas penjajah Yahudi dengan mengatasnamakan kepentingan Negara Israel.
“Karena itu pembunuhan-pembunuhan yang mereka lakukan nanti terhadap umat Islam, termasuk pengusiran-pengusiran kaum Muslim yang sekarang mereka lakukan dan akan mereka lakukan lagi itu akan diberikan legitimasi atas nama kepentingan negara,” jelasnya.
Di Bawah Kendali Barat
Disebutkan pula, agar Amerika Serikat (AS) menghapus Sudan dari ‘negara sponsor terorisme’ maka negara tersebut harus menormalisasi hubungan dengan Israel. “Ini menunjukkan bahwa hampir semua penguasa-penguasa negeri Islam itu di bawah tekanan atau di bawah kendali Barat,” cetusnya.
Padahal, menurutnya, julukan sebagai negara sponsor terorisme adalah label yang diberikan Barat sebagai bentuk hukuman sekaligus untuk mengontrol negara-negara yang tidak tunduk kepada AS.
“Ini semakin memperjelas kita bahwa apa yang disebut dengan perang melawan terorisme yang kerap kali digaungkan oleh Barat itu sesungguhnya adalah perang ala Barat untuk kepentingan mereka,” urainya.
Lantas terkait nasib Masjidil Aqsha, Muslim Palestina dan tanah Palestina ke depan tak bakalan bisa terbebas dari cengkeraman Yahudi Israel apabila negeri-negeri Muslim yang seharusnya membelanya justru menormalisasi hubungan dengan penjajahnya.
Jelasnya, tanah Palestina berikut kaum Muslim serta Masjidil Aqsha tidak bisa dibebaskan dengan solusi dua negara maupun gagasan kesepakatan perdamaian dalam hal ini normalisasi seperti yang dilakukan Sudan.
Membebaskan Palestina, kata Farid, hanya bisa dilakukan dengan jihad fisabilillah, mengusir entitas penjajah Yahudi dari negeri Islam yang diberkati, Palestina. Untuk itu dibutuhkan persatuan serta mobilisasi pasukan militer umat Islam di seluruh dunia.
Tetapi dikarenakan sangat sulit mengharapkan itu dari para penguasa negeri Muslim saat ini, yang justru tunduk dan dikendalikan Barat, menjadi sangat relevan kenapa umat Islam membutuhkan khilafah.
“Di sinilah relevansinya kenapa umat Islam membutuhkan khilafah yang akan memobilisasi tentara-tentara negeri Islam untuk membebaskan Palestina dari penjajah Yahudi,” ujarnya.
Tak hanya itu, khilafah akan membangun kepemimpinan independen di dalam satu negara super power mewakili kepentingan umat Islam yang tentunya, pungkas Farid, bakal memengaruhi konstalasi politik internasional.[] Zainul Krian