“Negara Preman”

 “Negara Preman”

Boleh jadi kita akan menolak pandangan orang luar seperti Schulte Nordholt yang dalam artikelnya berjudul “A Genealogy of Violence (2002)” mengategorikan Indonesia bersama Rusia dalam kelompok “Negara Preman”. Profesor di bidang sejarah Indonesia dari University of Leiden – Belanda ini merujuk pada kondisi pasca reformasi hingga tahun 2000an dimana aksi kekerasan dan kesewenang-wenangan seakan-akan berada di atas hukum. Ormas beratribut layaknya militer dengan praktik premanisme tumbuh menjamur menguasai berbagai area strategis dengan dalih jasa keamanan. Tak terkecuali, organisasi sayap paramiliter partai politik menjadi senjata untuk mengintimidasi lawan politik. Di level akar rumput, tawuran antar pelajar menjadi pemandangan rutin. Penghakiman massal terhadap pencuri recehan seolah dimaklumi di Indonesia. Rasanya sulit membantah realitas tersebut. Mungkin penolakan kita lebih karena rasa malu sebagai orang Indonesia yang selama ini dikenal dengan keluhuran budi pekerti dan keramahtamahan.

Namun di tahun 2025 ini, di tengah angka pengangguran yang terus naik, drama judi online yang seperti tak ada habisnya hingga melibatkan petinggi negeri, dan terungkapnya korupsi gila-gilaan di ranah eksekutif, legislatif serta yudikatif, berita tentang praktik premanisme oleh ormas kembali menyeruak. Modus praktik premanisme ormas ini tak berubah bahkan berkembang. Mulai dari memeras pedagang kecil di pasar, melakukan pungli di terminal, membekingi lokasi perjudian dan prostitusi, hingga penguasaan lahan parkir yang mampu mendatangkan milyaran rupiah per tahunnya. Lahan milik pemerintah pun tak luput dari penguasaan mereka. Menjelang Idul Fitri banyak pemilik usaha diteror permintaan THR oleh beragam ormas. Dengan dalih agar aman beroperasi, perusahaan besar yang mendapatkan prioritas dari Pemerintah untuk berinvestasi seperti BYD pun tak luput diperas oleh ormas. Di Depok, ormas paramiliter membakar mobil polisi untuk menghalangi penangkapan Ketua cabang ormas tersebut. Belakangan ormas ini juga terlibat perseteruan dengan para purnawirawan Jenderal TNI sebagai serangan balik atas petisi para purnawirawan yang menuntut penggantian Wapres Gibran. Dengan realitas semerawutnya kehidupan sosial seperti ini, jangan-jangan status “negara preman” itu benar adanya?

Miris memang, ormas yang seharusnya mewadahi perkumpulan orang per orang untuk merealisasikan kebaikan justru menjadi kelompok kriminal. Dengan mengenakan seragam dan atribut layaknya militer menjadikan mereka seolah memiliki wewenang untuk melakukan kekerasan, mengintimidasi, dan mengambil pungutan uang dengan dalih jasa keamanan. Ironisnya lagi, ormas-ormas ini menjadikan Pancasila sebagai asas organisasi dan embel-embel identitas kelompoknya.

Premanisme ormas merajalela saat negara gagal menyediakan hak dasar masyarakat seperti keamanan, keadilan dan pekerjaan bagi pemenuhan penghidupan. Akibatnya sulit memberantas praktik ini karena telah merasuk dalam banyak aspek kehidupan. Sebagian karena didorong oleh kebutuhan ekonomi. Kemiskinan terstruktur dan pengangguran yang tak berujung membuat keanggotaan ormas terus meningkat dan semakin menarik bagi banyak orang. Ketidakpercayaan pada aparat pengamanan juga mendorong banyak pihak beralih pada jasa mereka untuk urusan pengamanan, entah itu untuk mengamankan aset atau pengaman diri dan keluarga. Sebagian lain memang memanfaatkan tangan ormas untuk kepentingan terselubung. Ada saja pengusaha swasta yang menggunakan jasa ormas untuk menagih hutang secara ilegal, merampas aset, dan menghancurkan kompetitor bisnis. Termasuk untuk menekan para pekerjanya dan jika diperlukan untuk membubarkan demonstrasi buruh. Di dunia politik, para politisi pragmatis sengaja membangun relasi dengan ormas preman sebagai bagian dari pembuktian kekuatan politik dan dukungan. Tak jarang juga ormas ini dipelihara oleh oknum elite agar sulit tersentuh hukum. Ormas ini digerakkan sebagai pasukan bayaran yang bisa digunakan untuk mengintimidasi lawan politik, jurnalis dan media. Inilah yang menjelaskan mengapa ormas-ormas ini seolah tak tersentuh hukum meski telah jelas pelanggarannya. Ada kekuasaan politik yang “membekingi” dibaliknya.

Kondisi ini berujung pada hilangnya rasa aman dalam kehidupan publik. Warga semakin mudah terintimidasi. Ekonomi terganggu karena pungli dan pemerasan menjadikan dunia usaha tidak efisien. Moral rusak karena terjadi normalisasi kekerasan. Hukum tak dapat menjadi sandaran karena sering diabaikan. Kita tentu rindu pada suasana aman, bekerja dan berusaha dengan tenang, berinteraksi tanpa intimidasi sewenang-wenang dari pihak mana pun. Jangankan ormas yang tidak memiliki wewenang sedikit pun. Negara saja tidak bisa melakukan kekerasan terhadap rakyat jika bukan karena adanya pelanggaran hukum. Itu pun tindakannya harus terukur dan jelas terbukti kesalahannya.

Memperbaiki keadaan ini kiranya perlu memperhatikan aspek pembentuk keamanan dan ketertiban umum. Suasana tertib dan aman dapat hadir jika ditegakkan oleh institusi yang berwenang. Mandat yang absah datang dari perintah Allah SWT kepada penguasa untuk menegakkan hudud bagi para pelanggar di ranah publik. Namun, terciptanya rasa aman bukan hanya karena sahnya mandat secara syariat yakni kepada Penguasa (Ulil Amri). Tapi hukum yang dijalankan pun harus berupa hukum syara’ dalam hal uqubat (hukum dan sanksi). Termasuk yang juga harus ditegakkan adalah hukum beracara dalam pengadilan seperti persaksian, pembuktian, kewenangan hakim (qadhi’), dan juga ketentuan eksekusi. Hukum Islam tidak sekedar menghadirkan proses yang cepat, sederhana dan memberikan kepastian. Namun yang sangat penting adalah menjamin keadilan dan mampu mencegah merebaknya kejahatan di tengah kehidupan publik. Karena sumber hukum ini bukan dari kepentingan manusia, melainkan dari sang Pencipta Manusia yang Maha Adil.

Dalam prosesnya, kekuasaan yang absah tadi tidak boleh tersandera oleh transaksi politik dengan ormas. Seluruh pelanggaran oleh siapa pun termasuk ormas harus ditindak dengan adil. Selain pendekatan sanksi, syara’ juga memberikan panduan untuk meredam dorongan perilaku premanisme yang datang dari kebutuhan ekonomi dan ketimpangan sosial.  Negara wajib memberikan santunan langsung kepada mereka yang lemah dan membutuhkan dari harta zakat dan baitul mal. Sementara penanganan secara tidak langsung mencakup penyediaan lapangan kerja, bantuan modal usaha, dan peningkatan keahlian sebagai modal bekerja. Sedangkan beban biaya hidup yang berasal dari pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan telah terjamin dengan adanya penyediaan pendidikan dan kesehatan gratis oleh negara. Oleh karenanya, mereka yang punya penghasilan halal, terdidik dengan syariat dan akhlak, terjamin penghidupan sosialnya akan sulit terekrut oleh premanisme ormas. Energi ormas pun akan dapat diarahkan pada aktivitas positif seperti menasihati para pemimpin negeri agar tetap lurus, beramar ma’ruf nahi mungkar, dan menjadi wadah saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa.[]

Muhammad K (Founder ISGOV – Islamic Governance Initiative)

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *