Narasi Berbahaya di Balik Jilbab Anak adalah Pemaksaan

Oleh: Ummu Aisyah (Ibu Rumah Tangga)

Pemaksaan anak mengenakan jilbab adalah berbahaya dikutip di DW Indonesia dengan mewawancarai perempuan yang mewajibkan putrinya mengenakan hijab sejak kecil. Sekalipun DW Indonesia sudah menghapus tulisan ini,namun sudah banyak yang membahas dan memberitakannya.

DW Indonesia mewawancarai psikolog Rahajeng Ika, menanyakan dampak psikologis bagi anak-anak yang sejak kecil diharuskan memakai jilbab.

“Mereka menggunakan atau memakai sesuatu tapi belum paham betul konsekuensi dari pemakaiannya itu,” ujar Rahajeng Ika menjawab pertanyaan DW Indonesia.

Berita ini menuai kecaman dari netizen. Politisi Fadli Zon ikut angkat bicara tentang ini. Ia menyatakan bahwa ini adalah pernyataan sentimen islamofobia. Ingin menguatkan narasinya, DW mewawancarai feminis Nong DM, yang menyatakan bahwa itu sebuah kewajaran, namun dampak eksklusivis akan terbentuk pada diri anak. Kesimpulan yang ingin disampaikan adalah berbahaya memaksa anak mengenakan jilbab. Selanjutnya akan radikal dan intoleran.

Jelas ini merupakan propaganda seperti biasanya. Apalagi keluar dari lisan para liberalis feminis. Tanggung jawab mereka hanya satu,bagaimana agar muslim menjadi sekular, memisahkan agama dari kehidupan, kemudian menjadi muslim yang toleran. Namun sayang, sekular dan Islam adalah dua aqidah yang berbeda. Tidak bisa disatukan. Sekularisme akan menjadikan muslim namun biasa dengan pelanggaran syariah, sedangkan Islam menjadikan muslim terikat dengan syariah. Liberalisme menjadikan standar kebenaran pada manfaat, sedangkan Islam menyandarkan kebenaran pada Syariah. Apa yang dilakukan orang tua pada anak perempuannya adalah bagian pembiasaan dan pendidikan mengenakan pakaian sesuai syariah. Dengan pemahaman yang baik tentang ini,maka tidak ada orang tua yang bisa memaksakan pada anak kecil untuk mengenakan jilbab. Bila ananda merasa kepanasan dengan jilbab,maka ia dibiarkan untuk membuka jilbabnya. Karena ananda masih dalam periode pembiasaan. Namun ketika ananda sudah mencapai usia baligh, maka ia diharuskan mengenakan pakaian sesuai syariah.

Bila terkesan paksaan, ini berkaitan dengan proses pemikiran yang bertahap hingga ia merasa rela. Pada saat baligh maka ia telah terkena hukum wajib mengenakannya.

Ini sama halnya dengan kewajiban mengenakan seragam sekolah atau pakaian dinas suatu instansi. Sekalipun dirasakan memaksa, namun semua mampu untuk taat dan tunduk dengan aturan yang memaksa.

Persoalan berikutnya mungkin paksaan terkesan jahat? Mari kita tanyakan pada orang yang taat dengan aturan rambu lalu lintas, apakah ia terpaksa? Bisa jadi terpaksa. Aturan memang bersifat paksaan. Bayangkan masyarakat tanpa aturan, tentu akan semrawut.

Bahkan liberalisme itu pun memaksa. Misal, seorang konglomerat ketika menguasai lahan batu bara, ia harus memaksa sejumlah aturan demi kelancaran bisnisnya. Tinggal titik kritisnya pada aturan itu, apakah berdampak baik atau buruk.

Justru keterpaksaan seseoranglah yang mampu mencegahnya melakukan kriminalitas. Ia menjadi batal melakukan sex bebas karena paksaan dirinya untuk menjauhi pacaran. Seorang direktur perusahaan gagal melakukan korupsi karena ada paksaan sanksi yang keras atas pelakunya.

Bisa bayangkan aurat perempuan tiada batasan dan aturan yang memaksa. Ini menunjukkan ciri masyarakat itu masih buta dengan Islam. Seiring dengan itu, pergaulan pun tidak ada batasan. Yang terjadi berikutnya adalah sex bebas, aborsi, dan sederet kriminalitas seksual lainnya. Jadi apa salahnya dengan sikap terpaksa atau aturan yang dirasakan memaksa jika dampaknya adalah kebaikan.

Kemudian sikap intoleran yang dilekatkan pada hasil pembiasaan berjilbab pada anak, ini beraroma tuduhan tak berdasar. Islam tidak mengajarkan intoleran. Dalam Islam tindakan memaksa seorang non muslim untuk menjadi muslim adalah pelanggaran syariah. Propaganda yang diaruskan para pembenci Islam ini hanya sekadar pepesan kosong.

Jika seorang nasrani menganggap dirinya iman, di luar nasrani adalah kafir, ini bukanlah intoleran. Ini adalah area keyakinan yang membutuhkan kepastian dalam iman seseorang. Begitu pula seorang muslim menganggap kafir keyakinan di luar muslim,bukan artinya ia tidak memiliki kesadaran toleransi. Sungguh jauh panggang dari api tuduhan intoleran yang dinarasikan. Fakta membuktikan Muslim dan Nasrani hidup berdampingan hingga ratusan tahun. Masjid dan gereja berdiri di Turki pada masa pemerintahan Khilafah berkuasa hingga saat ini.

Karena itu sebagai muslim yang paham Islam dengan baik, tentu tidak akan mampu bersikap sinis terhadap syariah. Tuduhan keji terhadap Islam tidak akan berhenti manakala sudah tertanam kesalahan berpikir terhadap Islam hingga selalu berupaya memojokkan syariah. Tak henti-hentinya melakukan upaya monsterisasi ajaran Islam agar umat Islam menjauhi Syariah. Jangan sampai kita tertipu dengan narasi kedengkian ini. Teruslah para ibu yang baik membiasakan anak perempuan nya dengan kerudung, memberi arahan dan ajaran Islam dengan baik. Agar kelak ia akan menjadi generasi yang taat dan mencintai agamanya.[]

Share artikel ini: