Berita:
Pada hari Senin, 19/09/2022 Tanzania bergabung dengan negara-negara Afrika lainnya untuk menerapkan Protokol Konvensi AU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Terorisme. Setelah mendukung resolusi untuk ratifikasi protokol itu, Menteri Dalam Negeri, Insinyur Hamad Yusuph Masauni mengatakan bahwa Tanzania memiliki peluang lebih besar untuk mendapatkan beberapa manfaat, termasuk mengintensifkan pertahanan dan keamanan rakyat dan properti mereka dan menyederhanakan pertukaran informasi intelijen tentang terorisme melalui kolaborasi erat dengan negara-negara anggota.
Komentar:
Adalah benar bahwa propaganda ‘perang melawan teror’ di Tanzania, negara-negara Afrika dan negara-negara berkembang umumnya merupakan alat kolonial dan Barat untuk berperang melawan Islam, eksploitasi dan campur tangan dalam urusan Muslim. Kolonialis Barat memaksa negara-negara lemah untuk membunuh, menyiksa, dan memenjarakan rakyat mereka sendiri dengan dalih memerangi terorisme dengan pertukaran dengan suap dari Barat yang disebut sebagai dana untuk memerangi terorisme.
Di Tanzania, tidak pernah ada kasus terbuka tentang “teroris” yang benar-benar ditangkap terlepas dari propaganda jangka panjang yang dilakukan. Pada bulan Juni 2019 mantan Menteri Dalam Negeri Kangi Lugola mengkonfirmasi bahwa tidak ada ancaman teror di Tanzania. Sebelum itu pada bulan Februari 2017 mantan Menteri Konstitusi dan Urusan Hukum, Dr. Harrison Mwakyembe mengatakan kepada parlemen bahwa tidak ada ancaman teror yang dilaporkan di negara itu dalam beberapa tahun terakhir.
Semua pernyataan resmi ini menegaskan satu realitas yaitu tidak adanya terorisme di negara ini alih-alih terjadi penggunaan propaganda perang global melawan teror yang menargetkan Islam dan Muslim di seluruh dunia serta untuk mengganggu perdamaian dan harmoni dan untuk memuluskan jalan bagi eksploitasi Barat atas sumber daya dunia ketiga.
Aparat penegak hukum di Tanzania dalam banyak kasus telah lama menggunakan masalah terorisme untuk mengarang kasus-kasus terhadap Muslim, aktivis dan pemimpin mereka. Kasus-kasus yang dibuat-buat ini selalu berakhir dengan rasa malu di mana republik ini selalu gagal memberikan bukti apa pun dalam membuktikan tuduhan mereka.
Selain itu, dengan dalih memerangi teror dan lain-lain, banyak yang menderita di tangan aparat penegak hukum yang telah membunuh, menjarah, menculik mereka yang ditahan tanpa pengadilan untuk waktu yang lama dll. Misalnya pada tahun 2006, perwira polisi senior termasuk Inspektur Senior (SSP) Christopher Bageni membunuh tiga pedagang mineral dan seorang sopir taksi. Juga lebih dari 380 korban hilang sampai hari ini setelah tindakan keras pemerintah di Mkuranga, Kibiti dan Rufiji pada tahun 2017 yang “tidak dilakukan sesuai hukum dan ditandai dengan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk penyiksaan dan pembunuhan di luar hukum” (Afrika Timur, Mei, 2018)
Belum lagi ratusan bahkan ribuan Muslim dan penduduk lainnya yang ditahan tanpa pengadilan selama bertahun-tahun, seperti para pemimpin kelompok Uamsho (Kebangkitan) dari Zanzibar yang ditahan selama hampir delapan tahun dan didakwa dengan tuduhan terkait teror yang dibuat-buat. Karena malu, republik membatalkan dakwaan itu pada tahun 2021. Direktur Penuntutan Umum (DPP), Sylvester Mwakitalu, mengonfirmasi kepada wartawan bahwa semua dakwaan dibatalkan. Skenario serupa terjadi atas tiga anggota Hizb ut Tahrir Tanzania yang ditahan tanpa pengadilan selama lebih dari empat tahun setelah didakwa dengan kasus terorisme palsu, di mana akhirnya mereka dibebaskan pada tanggal 22 Februari 2022, menyusul konfirmasi DPP bahwa mereka tidak memiliki bukti kuat untuk melanjutkan dakwaan yang dituduhkan.
Juga, Ketua partai politik oposisi utama (Chadema) di Tanzania, Freeman Mbowe ditangkap pada Juli 2021 dalam penggerebekan malam hari di Mwanza, menjelang rapat umum untuk menuntut reformasi konstitusional dan didakwa dengan kejahatan terkait terorisme. Dia kemudian dibebaskan setelah menghabiskan tujuh bulan dalam tahanan.
Peristiwa-peristiwa di atas hanyalah beberapa contoh di antara ratusan dan ribuan orang yang ditahan dengan kasus-kasus terkait teror yang dibuat-buat dengan 99,9% dari mereka adalah Muslim yang gagal dibuktikan oleh pemerintah atas tuduhan mereka di hadapan pengadilan bahkan setelah bertahun-tahun dilakukan penyelidikan terhadap mereka. Ini berarti bahwa tidak ada dari mereka yang melakukan tindakan teror. Itulah sebabnya republik gagal untuk memberikan bukti-bukti yang kuat terhadap mereka. Kami lebih lanjut menekankan bahwa kampanye anti-teror adalah agenda asing dari Barat dan harus dihilangkan, karena tindakan dan konvensinya adalah alat menindas yang brutal untuk melawan terutama dan dalam banyak kasus terhadap Muslim dan Islam.
Ditulis untuk Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir
Said Bitomwa
Anggota Kantor Media Hizbut Tahrir di Tanzania