Munculnya Kembali Desakan Hukum Kebiri Kasus Perkosaan Santri, Begini Penjelasan dari Sudut Pandang Islam

Mediaumat.id – Soroti menguatnya kembali desakan untuk pemberlakuan hukuman kebiri pasca-berita perkosaan belasan santriwati pesantren di Kota Bandung dengan terdakwa Herry Wirawan (36), beberapa waktu lalu, Founder Institut Muamalah Indonesia KH Muhammad Shiddiq al-Jawi menanggapinya dari sudut pandang Islam.

“Pemerkosa itu hukumannya bukan dikebiri, tetapi dirajam dan bisa ditambah dengan ta’zir. Kemudian juga bisa ditambah dengan ganti rugi berupa ganti rugi finansial,” ujarnya dalam Kajian Fikih: Pemerkosa Santriwati Dikebiri atau Dirajam? di YouTube KC Reborn, Jumat (17/12/2021).

Ia mengatakan demikian, karena status terdakwa diketahui telah beristri. “Awalnya saya tidak tahu apakah si terdakwa ini sudah beristri atau belum. Tapi setelah berita yang viral akhirnya terbongkar dia sebenarnya sudah punya istri,” ucapnya.

Meskipun ada bahtsul masail atau hasil diskusi dari salah satu ormas di Jawa Timur yang menyimpulkan hukuman untuk pemerkosa adalah ta’zir, tetapi sebenarnya, menurut ia, secara syariat Islam justru ada tiga bentuk sanksi.

Pertama, had zina. Yakni sanksi atau hukuman tertentu bagi pelaku perzinaan atau pun perkosaan. “(Berupa) dirajam sampai mati jika pemerkosa sudah menikah (muhshan), atau dicambuk seratus kali jika belum menikah (ghairu muhshan),” jelasnya.

Kedua, sanksi shadaqa mitsliha, yang bentuknya semacam ganti rugi atau mahar misil. Lantas, apakah diukur pakai uang atau barang? Siddiq menerangkan, bentuknya sebagaimana kebiasaan di tempat tinggal korban.

Berikutnya yang ketiga, yaitu ta’zir sebagaimana dijelaskan dalam kitab Nizhamul Uqubat yang ditulis oleh Syeikh Abdurrahman al-Maliki, adalah sanksi yang dapat dijatuhkan hakim syariah atau qadi kepada pelaku pemerkosa.

Terlepas dari sistem yang ada sekarang, sambungnya, secara syariat penerapan had zina pada kasus pemerkosaan tetap tak bisa dihilangkan. “Itulah ketentuan Allah yang ada di dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi,” tegasnya sembari mengutip dua dalil yang berasal dari kedua sumber hukum itu.

Masing-masing artinya:

‘Dari Abu Hurairah RA dia mengatakan, pada suatu saat ada seorang laki-laki yang mendatangi Rasulullah SAW. Dan pada saat itu Rasulullah sedang berada di masjid. Lalu laki-laki yang datang itu berseru kepada Rasulullah SAW. Wahai Rasulullah saya telah berzina. Kemudian Rasulullah berpaling tidak mau melihat laki-laki itu hingga laki-laki itu mengulang ucapannya itu sebanyak empat kali. Maka Nabi memanggil laki-laki tersebut. Lalu Nabi mengatakan, apakah kamu gila? Laki-laki itu mengatakan tidak. Apakah kamu sudah menikah? Ia mengatakan ya. Maka kemudian Nabi bersabda kepada para sahabat, bawalah orang ini dan rajamlah dia’ (HR Bukhari, Muslim).

Sedangkan dalil tentang hukuman cambuk bagi ghairu muhshan, terdapat pada Al-Qu’ran Surat an-Nur ayat 2. ‘Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman’.

Terkait sanksi deraan ia menambahkan, Nabi SAW juga terkadang menambah dengan pengasingan selama setahun. Dan ternyata, hal itu juga pernah dilakukan Khalifah Umar bin Khattab ra dengan mengasingkan seorang pemuda dari Madinah ke Syam. Kini daerah Yordania, Palestina, Libanon, Suriah.

“Bisa kita bayangkan jauhnya seperti apa dari Madinah diasingkan ke Syam oleh Khalifah Umar bin Khattab, ketika ada seorang yang belum menikah dan berzina,” tandasnya.

Condong ke Mazhab Syafi’i

Khusus hukuman ganti kerugian, terangnya, terdapat khilafiyah atau perbedaan di antara imam yang empat. “Ini adalah pendapat sebagian fuqaha di antaranya ulama Mazhab Maliki dan Mazhab Syafi’i. Sementara kalau Mazhab Hanafi dan Hambali ini tidak berpendapat demikian,” terangnya dengan mengatakan ia lebih condong kepada pendapat Mazhab Maliki dan Syafi’i.

Bahkan di dalam kitab Al-Muwaththa karya Imam Malik pada juz 2 halaman 734 dikatakan, ‘Hukuman bagi laki-laki pemerkosa yang memperkosa wanita menurut kami, baik yang menjadi korbannya itu perawan maupun janda adalah jika korban itu wanita merdeka, pemerkosa itu wajib membayar shadaqa mitsliha yaitu mahar untuk wanita semisal korban’.

“Namun apabila korbannya seorang budak atau hamba sahaya, maka maharnya berkurang sesuai dengan harga budak dimaksud,” imbuhnya.

Selanjutnya, penerapan sanksi ta’zir. Ia mengatakan, seperti halnya pengertian perkosaan/rudapaksa sendiri atau dalam bahasa Arab ightisabh, adalah tidak sekadar mengambil sesuatu barang secara zalim atau secara paksa. Tetapi maknanya lebih khusus pelanggaran hukum dengan melanggar kehormatan wanita secara paksa, maka hukuman itu bisa ditambahkan.

“Pemerkosaan itu tidak sekadar berzina, tetapi melakukan pemaksaan atau ikrah yang ini perlu dijatuhi sanksi tersendiri,” ujarnya mengutip pernyataan Imam Ibnu Abdil Barr dari Mazhab Maliki dalam kitab Al-Istidzkar yang kalimat lengkapnya:

“Sesungguhnya hakim atau qadi dapat menjatuhkan hukuman kepada pemerkosa dan menetapkan ta’zir kepadanya dengan suatu hukuman atau sanksi yang dapat membuat jera untuk dia dan orang-orang yang semisalnya’.

Dengan catatan, hukuman ta’zir dan ganti kerugian dilakukan sebelum penerapan sanksi rajam, “Kalau sudah dirajam mati dia, (akibatnya) dia tidak bisa dihukum yang lain. Berarti nanti cara hakim menetapkan keputusan, itu ta’zir dulu baru setelah ta’zir baru kemudian dirajam,” tuturnya dengan menambahkan, masih dari kitab Nizhamul Uqubat, terdapat 15 macam ta’zir termasuk juga cambukan, namun dengan jumlah maksimal sepuluh deraan.

Kebiri, Haram

Berkenaan dengan hukuman kebiri, baik yang bersifat fisik dengan memotong testis atau bisa juga penis, maupun kimiawi berupa suntikan mengandung zat-zat tertentu yang menghilangkan syahwat dari seorang laki-laki, dalam pandangan syariat Islam ia menegaskan keharamannya.

Malah dengan merujuk dua hadits sahih Nabi SAW terkait larangan tersebut, menunjukkan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha atau para ahli fikih.

Di antaranya, ‘Dari Saad bin Abi Waqqash RA, iia berkata, Rasulullah SAW telah menolak Utsman bin Mazh’un untuk meninggalkan kenikmatan duniawi demi ibadah semata-mata. Kalau sekiranya Rasulullah SAW mengizinkan Utsman bin Mazh’un untuk melakukan tabattul (membujang) niscaya kami sudah melakukan pengebirian ini’ (HR Imam Bukhari dan Imam Muslim).

Dan, ‘Dari Ibnu Mas’ud RA, ia berkata, dahulu kami pernah berperang bersama Nabi SAW sedangkan kami tidak bersama istri-istri. Lalu kami berkata kepada Nabi SAW, bolehkah kami melakukan pengebirian? Maka Nabi SAW melarang yang demikian itu (pengebirian)’ (HR Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad dan Imam Ibnu Hibban)

Demikian, apabila saat ini masih ada hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual tertentu sebab pedofilia, misalnya, hal itu menunjukkan bahwa pembuat UU memang abai atau mungkin belum tahu ketentuan Islam tersebut. “Kalau legislator itu memang dia adalah seorang Muslim, mestinya tidak menetapkan sanksi berupa kebiri,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: