MediaUmat – Setidaknya ada empat peran Amerika Serikat dalam perang saudara di Sudan. Hal itu dinyatakan Peneliti Masyarakat Sosial Politik Indonesia (MSPI) Dr. Riyan, M.Ag. kepada media-umat.com, Selasa (11/11/2025).
Pertama, peran politik Amerika sudah dimulai sejak Sudan mendapatkan kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1956 M. “Sehingga secara bertahap Amerika mampu menyingkirkan posisi Inggris dan mengokohkan pengaruh politiknya di Sudan,” ujarnya.
Kedua, pada 2003 ketika itu penguasa Sudan dukungan Amerika, Presiden Sudan, jenderal Omar Basyir memadamkan api pemberontakan bersenjata di Darfur (Sudan Barat) yang kaya akan emas.
“Karena berbagai alasan Amerika mendukung Basyir dan membiarkan genosida (pembantaian massal) lebih dari 300.000 tewas dan lebih dari 12 juta rakyat mengungsi,” ungkap Riyan.
Ketiga, pada 2011, melalui upaya dari agen pemberontak dukungan Amerika di Sudan Selatan, John Garang, Amerika berhasil memisahkan wilayah Sudan Selatan yang kaya minyak, dari Sudan.
Keempat, pada 2023, pasca kudeta atas Presiden Omar Basyir pada 2019, dua agen Amerika yaitu Jenderal Abdul Fattah al-Burhan dari SAF (Sudanese Army Forces) dan Jenderal Muhammad Dagalo Hemedti dari RSF (Rapid Suport Forces) berselisih. “Dan terjadi genosida ke-2 di Darfur Sudan, yang sudah menewaskan lebih dari 2000 Muslim dan jutaan rakyat mengungsi,” ujarnya.
Tujuan
Tujuan utama dari AS, menurut Riyan, adalah melakukan politik memecah-belah dan jajahlah (devide et impera). Sehingga kekuatan dan kesatuan dunia Islam akan terpecah dan lemah.
“Kita masih ingat bahwa Amerika adalah negara ideologis, yaitu negara sekuler-kapitalis-demokrasi. Metode penyebaran ideologinya dengan penjajahan gaya baru (neoimperialisme). Sehingga secara implementasi, Amerika biasa menggunakan penguasa Muslim untuk merealisir berbagai kezaliman termasuk genosida terhadap rakyatnya sendiri, tetapi Amerika seolah tutup mata dengan berbagai kezaliman tersebut,” bebernya.
Peran Internal Sudan
Pihak-pihak dalam negeri Sudan, kata Riyan, juga turut serta mewujudkan keinginan AS tersebut.
Pertama, dalam kasus genosida pada tahun 2003, Presiden Sudan, Omar Basyir, salah satu dari penguasa boneka Amerika melakukan penumpasan pemberontak dengan tangan besi sehingga ribuan nyawa rakyat tewas.
“Dia lakukan itu dengan menggunakan milisi bersenjata, dikenal waktu itu dengan nama Janjaweed (arti harfiah: para penunggang kuda), yang kelak menjadi cikal bakal munculnya RSF- pimpinan Dagalo, untuk melawan kaum pemberontak yang sebenarnya juga rakyat sipil. Amerika tutup mata dengan genosida yang dilakukan milisi bersenjata tersebut,” ungkapnya.
Kedua, masih pada era Presiden Basyir, pada tahun 2011, dengan pendekatan politik melalui referendum. “Basyir melepaskan Sudan Selatan dan diserahkan ke Amerika sehingga menjadi negara baru yang makin memperlemah dan mempersempit Sudan,” terangnya.
Ketiga, pada tahun 2020, ketika Sudan mengalami transisi pemerintahan pasca kudeta terhadap Basyir. “Sudan melalui antek Amerika Jenderal Abdul Fatah al-Burhan, melakukan normalisasi hubungan dengan Israel dengan imbalan sudah dikeluarkan dari daftar negara yang dianggap teroris oleh Amerika,” ungkap Riyan.
Peran Negara Sekitar
Sementara negeri-negeri sekitar Sudan, seperti UEA, Mesir, Iran, dan negara lainnya, kata Riyan juga memastikan tujuan AS bisa tercapai.
Pertama, UEA tunduk patuh kepada Amerika. “UEA-lah yang sukarela melakukan normalisasi yang tidak normal dengan Israel. Artinya UEA adalah antek Amerika dan partner in crime bersama Israel memasok senjata ke RSF (milisi) agar mampu mengalahnya SAF (pemerintah Sudan). Selain memang UEA memiliki kepentingan ekonomi dengan penguasaan pasokan emas dari Darfur yang saat ini dikuasai oleh RSF,” ungkapnya.
Kedua, Mesir dan Arab Saudi mendukung SAF (pemerintah), untuk kepentingan politik dominasi mereka di benua Afrika dan Laut Merah. Mesir dan Arab Saudi pun tunduk dalam genggaman Amerika.
“Sebagaimana UEA. Mesir memiliki hubungan diplomatik resmi dengan Israel. Maka ini menjadi jelas kenapa Mesir ingin membangun keseimbangan politik Sudan yaitu antara RSF dan SAF,” jelasnya.
Ketiga, adapun Iran, mereka memasok drone dan persenjataan lainnya kepada SAF untuk melawan RSF. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa Teheran ingin membangun fasilitas angkatan laut di Sudan. Jika dikombinasikan dengan gerakan Houthi yang pro-Iran di Yaman, pangkalan semacam itu akan menjadi titik yang dari sana Iran dapat mengancam pelayaran di Laut Merah sekaligus titik masuk maritim utama bagi umat Islam yang melaksanakan ibadah haji ke Makkah dan Madinah.
“Meskipun hubungan Iran dan Sudan diwarnai ketegangan yang bersumber dari mayoritas penduduk Sudan yang beragama Sunni dan promosi Syiah oleh Iran cenderung membatasi hubungan Teheran-Khartoum,” ungkapnya.
Meskipun dibantah secara resmi, Riyan menduga Iran berupaya membangun fasilitas angkatan laut di pesisir Laut Merah Sudan atau mendapatkan akses ke pelabuhan-pelabuhan yang sudah ada di sana mengingat keuntungan strategis yang ditawarkannya.
“Hal ini mungkin merupakan langkah yang terlalu jauh bagi hubungan AS-Sudan, yang telah bertahun-tahun diupayakan oleh Khartoum untuk diperbaiki,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat