MSPI: Tuntutan Rakyat Tak Terjawab Jika Sistem Sama

MediaUmat Tuntutan perubahan atas kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan masyarakat di tengah gelombang demonstrasi besar-besaran di sejumlah negara dalam beberapa waktu terakhir, dinilai sulit terjawab jika cara untuk merealisasikan masih menggunakan sistem lama.

“Akan sulit berharap kalau sistem yang digunakan untuk menjawab tuntutan demonstran masih sistem lama,” ujar Peneliti Masyarakat Sosial Politik Indonesia (MSPI) Dr. Riyan, M.Ag. kepada media-umat.com, Ahad (5/10/2025).

Kalaupun dianggap berhasil, sambungnya, menjawab seputar pelajaran penting atas terjadinya gelombang demonstrasi besar-besaran ini, tak lebih dari sekadar tambal sulam dan parsial. Demikian sistem sekuler demokrasi-kapitalistik-liberal yang pada dasarnya kufur dan haram untuk diterapkan, tetapi oleh sebagian umat Islam masih saja disebarluaskan hingga kini.

Adalah gelombang demonstrasi terjadi di sejumlah negara dalam beberapa waktu terakhir. Ribuan hingga jutaan warga turun ke jalan, menuntut perubahan atas kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan masyarakat.

Aksi demonstrasi yang kerap berujung ricuh hingga menyebabkan hilangnya nyawa ini juga dilakukan untuk menyoroti isu ekonomi, politik, hak asasi manusia hingga pernyataan ketidakpuasan terhadap pemerintah. Dengan kata lain, situasi ini menunjukkan gejolak sosial dan tekanan terhadap elite politik yang dinilai gagal dalam merespons aspirasi rakyat.

Terbaru setelah Indonesia, Nepal, Australia, Timor Leste, Inggris, Prancis, Turki, demo besar-besaran yang dipimpin oleh generasi muda atau gen Z sejak akhir September lalu juga terjadi di Maroko, Afrika Utara, dengan sebutan ‘Aksi Demo 212’ diambil dari kode telepon internasional Maroko, yakni +212.

Kesamaan Akar Masalah

Secara akar masalah, kata Riyan, terdapat kesamaan pada persoalan struktural yang terjadi terkait dengan arah pembangunan sekuler-kapitalistik yang melahirkan berbagai ketimpangan dan keterbatasan akses ke fasilitas publik.

Dalam hal di Maroko misalnya, kondisi yang memicu gelombang protes besar adalah ketimpangan di sektor kesehatan. Sementara di saat yang sama, pemerintah setempat justru membangun tiga stadion baru dan merenovasi beberapa lainnya untuk ajang Piala Afrika 2025.

Belum lagi soal kurikulum pendidikan yang dinilai tak relevan dengan dunia kerja maupun sektor ekonomi yang tingkat penganggurannya tinggi, juga menjadi pemicu utama. Celakanya, sebut Riyan, pemerintah lamban dalam merespons tuntutan demonstran, dan sikap polisi yang represif, justru melahirkan kemarahan massa yang meluas ke berbagai kota.

Maka itu, menurut Riyan, penyelenggara pemerintahan (baik Perdana Menteri dan Ketua DPR Maroko) harusnya lebih responsif dan bukan malah reaktif-represif.

“Secara fundamental, mestinya mereka harus menerjemahkan aspirasi masyarakat yang melakukan demonstrasi dalam bentuk kebijakan yang benar-benar akan mampu menghasilkan harapan dari masyarakat, baik sektor kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan juga sektor-sektor lain,” urainya kembali.

Sistem Baru

Yang lebih penting, dibutuhkan cara berikut asas, kerangka pikir (mindset), pandangan dunia (worldview), dan sistem aturan baru agar harapan yang hakiki bisa diraih dan diwujudkan.

“Sistem yang berasaskan akidah islamiah, melahirkan pemerintahan yang menerapkan Islam secara kaffah dan ekonomi yang berbasis keberkahan karena dipandu syariat Islam dalam setiap detailnya,” paparnya, yang nantinya juga mencakup pendidikan serta kesehatan gratis.

Di sisi lain, kontrol sosial masyarakat (amar ma’ruf nahi mungkar) terlebih kepada penguasa yang zalim, adalah bagian dari kewajiban masyarakat.

Dengan catatan, bila memanfaatkan keberadaan teknologi komunikasi khususnya media sosial, harus menjadikannya sarana/wasilah untuk menebar kebaikan dan memobilisasi masyarakat dengan cara-cara damai dan elegan.

Lantas pelajaran penting yang juga harus diambil dari terjadinya gelombang demonstrasi tersebut adalah kehadiran pemimpin adil, bertanggung jawab dalam melayani rakyat.

“Pemimpin, penguasa adalah laksana junnah (perisai) sebagaimana sabda Nabi SAW, bahwa setiap individu adalah pemimpin,” tegas Riyan, mengutip HR Imam Bukhari dan Muslim dari jalur Abu Hurairah ra, yang artinya:

“Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Ia akan dijadikan perisai saat orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika ia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan adil, maka dengannya, ia akan mendapatkan pahala. Namun, jika ia memerintahkan yang lain, maka ia juga akan mendapatkan dosa/azab karenanya.”

Dari sini, pilar sebuah negeri dan masyarakat yang diliputi kebaikan dan dalam naungan ampunan Allah SWT (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur) akan tegak. Juga, pungkas Riyan, dengan ditopang ketakwaan individu akan membuat masyarakat dan negara tegak berdiri dalam keberkahan dunia serta akhirat.[] Zainul Krian

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: