MSPI: Pemerintah Sewenang-wenang Soal Relokasi Warga TNTN
MediaUmat – Akar masalah rencana relokasi warga di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau yang berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM, menurut Peneliti Masyarakat Sosial Politik Indonesia (MSPI) Dr. Riyan adalah kesewenang-wenangan pemerintah atas lahan yang akan dijadikan sebagai konservasi TNTN.
“Terlihat akar masalahnya adalah kesewenang-wenangan pemerintah atas lahan yang akan dijadikan sebagai konservasi TNTN. Padahal ada lahan yang sudah ditempati warga secara sah, sehingga pemerintah tidak dapat secara serta-merta melakukan penggusuran atau relokasi terhadap warga yang secara sah menempati lahan tersebut,” ujarnya kepada media-umat.com, Rabu (1/10/2025).
Menurut Riyan, secara fakta masyarakat telah menggarap lahan yang mereka tempati saat ini sejak tahun 1998 dan memiliki 1.762 sertifikat hak milik (SHM). Selain permukiman warga, kawasan itu juga telah dilengkapi fasilitas umum seperti sekolah serta infrastruktur jalan. Kemudian sebagian masyarakat yang menempati kawasan tersebut merupakan peserta program transmigrasi era Orde Baru.
Sehingga, jelas Riyan, keberadaan mereka tidak bisa dikategorikan sebagai okupasi liar. Keberadaan masyarakat di kawasan itu didukung oleh kebijakan pemerintah daerah. Bahkan, pada 1998-1999, Bupati Indragiri Hulu mengeluarkan surat resmi untuk membentuk koperasi dan membagikan lahan dua hektare per keluarga untuk ditanami sawit.
Riyan melihat, permasalahan lahan ini muncul usai terbitnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 255 Tahun 2004 yang menunjuk wilayah tersebut sebagai calon kawasan konservasi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Padahal, SK tersebut belum melalui proses validasi batas wilayah dan belum memiliki kekuatan hukum final.
Sistemik
Riyan juga menilai, bahwa rencana proyek konservasi Taman Nasional Tello Niso (TNTN) ini adalah masalah yang sifatnya sistemik bukan sekadar urusan pribadi pejabat yang berwenang.
“Kesewenang-wenangan pejabat dalam kasus ini memang nampak terlihat, SK Menteri Kehutanan yang masih belum dianggap final, tapi pemerintah sudah mau merelokasi warga. Sehingga hal itu menimbulkan kecemasan warga yang sah. Apalagi terlihat kurangnya dialog dengan warga dan berbagai upaya pendekatan bila memang proyek TNTN itu akan dilakukan,” terangnya.
Ironisnya, kata Riyan, di sisi lain, ada indikasi pembiaran oleh pemerintah terhadap perusahaan swasta pemegang izin hutan tanaman industri (HTI) yang jumlahnya sekitar 512 ribu hektare kawasan hutan di Riau, termasuk 156 ribu hektare di Kawasan Tesso Nilo.
Riyan berharap, pemerintah harus berani bertindak tegas dan adil terhadap perusahaan swasta pemegang izin HTI (Hak Tanaman Industri) bila tidak bertanggung jawab terhadap kerusakan hutan di wilayah tersebut.
Solusi Islam
Dalam Islam, hutan kategorinya adalah kepemilikan umum (al-milkiyah aammah). Hutan milik rakyat dan dikelola oleh negara (pemerintah) untuk kesejahteraan rakyat terutama yang ada di sekitar kawasan hutan tersebut. Dasarnya hadits Nabi SAW: “Kaum Muslim memiliki secara bersama: air, hutan, api (energi).”
Kemudian dalam kasus ini masyarakat sudah menempati tanah secara sah dengan hukum yang berlaku, sehingga negara haram melakukan relokasi atau penggusuran secara sepihak walaupun untuk kepentingan proyek konservasi TNTN, bila tidak ada keridhaan dan kesukarelaan warga dengan kompensasi yang disepakati.
Terakhir Riyan mengingatkan, negara harus mengambil kembali kawasan hutan yang dikuasai oleh segelintir perusahaan swasta dan memberikan sanksi yang tegas sesuai syariah Islam atas perusakan hutan yang dilakukan selama menguasai lahan hutan. Karena kepemilikan umum (dalam hal ini hutan) tidak boleh diserahkan kepada swasta.
“Ini sebagaimana Nabi SAW menarik kembali tambang garam yang diberikan kepada salah satu sahabat, karena tambang tersebut milik umum sebagaimana hutan,” pungkasnya.[] Agung Sumartono
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat