Monopoli Lahan Terjadi karena UU-nya Duplikat Warisan Belanda

MediaUmat – Monopoli lahan dengan 60 keluarga menguasai hampir setengah lahan Indonesia sebagaimana pidato Menteri Agraria dan Tata Ruang atau Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nusron Wahid, menurut Rizqi Awal dari Indonesia Justice Monitor (IJM), terjadi karena undang-undang di Indonesia adalah duplikat warisan Belanda.
“Kalau kita lihat ini kan sebenarnya apa yang terjadi pada hari ini, warisan tanah kita itu kan sebenarnya aturan undang-undangnya adalah undang-undang yang duplikat dari warisan Belanda,” ujarnya dalam Kabar Petang: Terungkap! 60 Keluarga Kuasai Hampir Setengah Lahan Indonesia, Siapa Mereka? di kanal YouTube Khilafah News, Rabu (23/7/2025).
Artinya, lanjut Rizqi, yang terjadi hari ini selama undang-undang pertanahan itu tidak diubah, maka memang peruntukannya untuk para kapitalis.
“Itu wajar kalau Bang Nusron itu menyatakan bahwasanya 46% ya itu menurut saya itu data yang terindeks. Menurut saya data yang tidak terindeks mungkin lebih banyak daripada itu,” bebernya.
Karena, Rizqi juga memahami data asli dari BPN mungkin lebih dari 46%, karena BPN belum bisa mencakupi segala urusan tanah-tanah adat yang belum ada hitam di atas putih. Dan pemerintah hanya mencatat yang sudah berada di catatan sipil, artinya data itu ada.
“Ini belum data-data yang gelap gulita itu. Dan ini risiko ketika negara ini menanggung beban dosa dari undang-undang yang tidak pro kepada rakyat tapi pro kepada kapitalis,” bebernya.
Oligarki Lokal dan Internasional
Rizqi juga melihat ada keterkaitan antara oligarki lokal dengan internasional yang sangat berkaitan.
“Jadi begini, oligarki luar atau perusahaan-perusahaan besar itu butuh jembatan agar mereka bisa mengelola tanah-tanah itu. Maka untuk diakui pengelolaan tanah di tanahnya rakyat, maka mereka akan bekerja sama dengan oligarki-oligarki lokal sehingga investasinya dari asing, pengelolanya dari lokal,” jelasnya.
Ujungnya, lanjut Rizqi, yang lokal ini bukan mengolah tapi hanya sebatas perizinan dan upeti saja. Ibarat kata, yang tetap mengolah itu investor tadi.
“Nah, itu yang kita melihat ironi yang terjadi pada hari ini, itu baru yang asing aseng dan swasta yang terlibat ya. Artinya, ini belum terkait dengan individu-individu yang punya di desa-desa yang yang dia tuan tanah, yang dia sebagai kepala suku, kepala adat segala macam yang dia punya hak untuk bisa dapat apa? Dapat bagian dari keuntungan itu gitu,” bebernya.
Artinya, ungkap Rizqi, hubungan itu ada dan sangat erat karena ini saling berkaitan. “Investor punya dana tapi dia tidak punya perizinan. Yang lokal dia punya perizinan tapi enggak keluar dana gitu,” pungkasnya.[] Setiyawan Dwi
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat