Menghidupkan Kembali Islam: Satu-satunya Jalan untuk Menghindari Bencana

 Menghidupkan Kembali Islam: Satu-satunya Jalan untuk Menghindari Bencana

Pada hari Rabu (20/8), Karachi terendam banjir setelah hujan deras, melumpuhkan kota pelabuhan di selatan berpenduduk 20 juta jiwa tersebut kurang dari seminggu setelah banjir bandang mematikan menyapu desa-desa di provinsi barat laut Khyber Pakhtunkhwa.

Banjir baru-baru ini di Pakistan telah meluluhlantakkan Khyber Pakhtunkhwa dan Sindh, sementara wilayah lain berjuang menghadapi jalan-jalan yang tergenang air yang telah mengubah kehidupan sehari-hari menjadi bahaya. Tragedi hilangnya nyawa dan mata pencaharian di Khyber Pakhtunkhwa telah mengguncang hati banyak orang. Sedang hal yang paling meresahkan adalah ketiadaan peralatan penyelamatan yang memadai, sehingga membuat banyak orang mempertanyakan kapasitas pemerintah untuk merespons. Petugas penyelamat terpaksa melakukan semuanya secara manual, dan sekali lagi, penduduk setempat, yang telah ditempa oleh kelalaian bertahun-tahun, tahu bahwa mereka harus mengandalkan diri sendiri karena bantuan yang datang sangat sedikit atau bahkan tidak akan pernah datang.

Bencana-bencana ini seringkali dianggap sebagai bencana alam dan tak terelakkan oleh Pemerintah, meskipun sebagian besar kerusakannya merupakan akibat dari keserakahan manusia akan kekuasaan dan eksploitasi sumber daya alam. Tariq Ali Shah, pakar kehutanan yang bekerja erat dengan pemerintah Khyber Pakhtunkhwa, mengatakan bahwa provinsi tersebut telah kehilangan hutan dengan laju sekitar 1,5 persen per tahun, yang setara dengan 8.000 hektar per tahun, hampir seluas wilayah kota Islamabad, antara tahun 2000 dan 2023. Masalah lainnya adalah pembangunan hotel, rumah, dan restoran di tepi sungai.

Sementara dalam banjir tahun 2022 di wilayah Swat, sekitar 700 hotel, motel, penginapan, dan restoran terendam sepenuhnya. Sedang pada banjir baru-baru ini, kita menyaksikan dampak yang menghancurkan bahkan di Islamabad, perambahan dan pembangunan di atas sungai menciptakan kemacetan, yang memaksa air banjir masuk ke rumah-rumah dan ruang bawah tanah di dataran rendah. Banjir di Karachi merupakan bukti kegagalan sistem pembuangan limbah dan drainase, karena saluran pembuangan air hujan alami di kota (tepi sungai) tersumbat oleh sampah padat, dan sistem secara keseluruhan tidak mampu menampung volume air, terutama dengan pola curah hujan yang tidak menentu. Hal ini diperparah oleh tata kelola yang buruk, kekacauan administratif, dan kurangnya infrastruktur air yang memadai untuk mengelola air limbah dan air hujan di kota.

Program pembangunan yang membabi buta di Pakistan dapat ditelusuri kembali ke masa penjajahan Inggris. Inggris, yang berfokus pada penguasaan ruang dan memaksimalkan keuntungan, menerapkan campur aduk otoritas perencanaan kota dan kebijakan perumahan yang tidak adil. Mereka memprioritaskan pembangunan pita, perluasan wilayah pinggiran kota, dan segregasi berbasis kelas. Pasca-kemerdekaan, filosofi perencanaan kami tetap tidak berubah, yaitu membangun ke luar, membangun besar, dan membangun untuk orang kaya. Rencana induk disusun dan kemudian diabaikan. Lahan pertanian terkikis akibat ekspansi perkotaan yang terus berlanjut.

Sementara dunia kapitalis penuh dengan bencana, Islam mengambil pendekatan yang sama sekali berbeda. Dalam Islam, negara bertanggung jawab untuk membuat kebijakan guna melindungi hutan alam, mengatur aktivitas pertambangan dan penebangan, serta aktivitas lain yang diperlukan untuk mencegah kerusakan lahan tanaman. Allah SWT menciptakan dunia dan segala isinya untuk manusia, dan dunia hanya dapat dilindungi dengan ketaatan kepada Allah SWT.

Di masa keemasan Islam, para insinyur dan perencana kota mengembangkan teknologi hidrolik canggih untuk melindungi wilayah perkotaan dari banjir dan memastikan pasokan air yang stabil. Pengelolaan banjir mencakup pembangunan bendungan dan lengkungan, pembuatan sistem kanal yang kompleks, dan pengembangan mesin pengangkat air untuk mendistribusikan dan menyimpan air secara efisien. Upaya-upaya ini, bersama dengan teknik pemeliharaan kanal dan perlindungan bendungan menggunakan pohon willow (dedalu), menghasilkan sistem pengelolaan air komprehensif yang mendukung pertanian, pasokan air perkotaan, dan kesejahteraan masyarakat, yang semuanya membuktikan pemahaman mereka yang mendalam tentang teknik hidrolika. Hal ini dimungkinkan karena konektivitas wilayah-wilayah yang berada di bawah pemerintahan yang sama, betapapun jauhnya lokasi mereka.

Banjir, kekeringan, penyakit, atau perang, tantangan apa pun dirasakan dan diatasi oleh inti umat, yaitu kekuatan sentral Khilafah. Kita sangat membutuhkan Khilafah untuk menyelamatkan, menjaga, dan menghidupkan kembali kejayaan lama yang telah Allah SWT kehendaki untuk umat-Nya. Khilafah, ketika tegak di atas jalan Nabi, tidak akan membiarkan keserakahan kekuasaan menghancurkan kekayaan umat. Air, yang kini menjadi penyebab kematian dan kehancuran, akan menjadi sumber kehidupan dan pertumbuhan. Bendungan dan kanal akan dibangun, dan air akan didistribusikan ke daerah-daerah yang membutuhkan. Kita punya contoh seperti Kanal Zubaidah, sebuah kanal yang dibangun untuk penduduk Makkah atas saran istri Khalifah Harun al-Rasyid saat itu demi kenyamanan para jemaah haji. Kanal ini masih ada, mengingatkan kita akan masa keemasan Islam dan mengajak kita untuk meneladani jejak para pengikut Nabi yang mulia, Muhammad saw.

﴿وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ﴾

Milik Allahlah kerajaan langit dan bumi. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (TQS. Ali Imran [3] : 189). [] Ikhlaq Jehan

Sumber: 28/8/2025.

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *