Oleh: Achmad Fathoni (Dir. El Harokah Research Center)
Kewajiban menegakan Khilafah atau Imamah itu sesungguhnya telah disepakati oleh Imam mazhab yang empat, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad ra; bahkan oleh ulama di luar kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Para ulama pun sudah menjelaskan dalil-dalil kewajiban Khilafah ini, baik dalil dari al-Quran, al-Hadis, Ijmak Sahabat maupun qaidah syar’iyyah.
Dalil al-Quran antara lain adalah ayat-ayat yang mewajibkan penguasa untuk berhukum dengan apa saja yang telah Allah turunkan (QS al-Maidah [5]: 48, 49); juga ayat-ayat hukum yang pelaksanaannya dibebankan kepada Khalifah sebagai kepala negara Khilafah, seperti qishash bagi pembunuh (QS al-Baqarah [2]: 178), hukum potong tangan bagi pencuri (QS al-Maidah [5]: 38), hukum cambuk bagi pezina bukan muhshan (QS an-Nur [24]: 2), dan sebagainya.
Jadi, seluruh ayat yang mewajibkan penguasa berhukum dengan hukum Islam, juga seluruh ayat yang pelaksanaannya dibebankan kepada Khalifah, adalah dalil atas kewajiban menegakkan Khilafah. Sebab, tak mungkin ayat-ayat itu terlaksana secara sempurna, kecuali dengan adanya Negara Khilafah. Kaidah syar’iyyah menegaskan:
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Selama sebuah kewajiban tidak sempurna pelaksanaannya kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib hukumnya.
Dalil hadis antara lain sabda Rasulullah saw.:
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مَيِّتَةً جَاهِلِيَّةً
Siapa saja yang mati dan di lehernya tidak ada baiat (kepada Khalifah/Imam), matinya adalah mati jahiliyah (HR Muslim).
Dalil Ijmak Sahabat (kesepakatan para sahabat Nabi saw.), adalah adanya kesepakatan para sahabat untuk mengangkat Abu Bakar ash-Shiddiq ra. sebagai khalifah setelah wafatnya Rasulullah saw., yang lebih mereka prioritaskan daripada menguburkan jenazah Rasulullah saw.
Adapun menurut qaidah syar’iyyah dinyatakan:
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Selama sebuah kewajiban tidak sempurna pelaksanaannya kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib hukumnya.
Artinya, jika kewajiban menerapkan syariah Islam dalam segala aspek kehidupan tidak terlaksana sempurna kecuali dengan tegaknya Negara Khilafah, berarti Khilafah itu wajib juga hukumnya secara syar’i.
Kewajiban menegakkan Khilafah ini asalnya adalah fardhu kifayah, bukan fardhu ‘ain. Namun, karena fardhu kifayah ini kenyataannya belum terwujud, yakni berupa tegaknya Khilafah, maka hukum menegakkan Khilafah saat ini, telah menjadi fardhu ‘ain, yakni menjadi kewajiban setiap Muslim sesuai kemampuan masing-masing.
Mengangkat seorang khalifah adalah kewajiban yang telah disepakati para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja). Menolak atau mengingkari kewajiban ini sama artinya telah menyimpang dari kesepakatan mereka. Imam Abu Zakaria an-Nawawi, dari kalangan ulama mazhab Syafii juga mengatakan:
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ يَجِب عَلَى الْمُسْلِمِينَ نَصْبُ خَلِيفَةٍ وَوُجُوبُهُ بِالشَّرْعِ لاَ بِالْعَقْلِ، وَأَمَّا مَا حُكِيَ عَنْ اْلأَصَمّ أَنَّهُ قَالَ: لاَ يَجِبُ، وَعَنْ غَيْرِهِ أَنَّهُ يَجِبُ بِالْعَقْلِ لاَ بِالشَّرْعِ فَبَاطِلاَنِ
Para ulama sepakat bahwa wajib atas kaum Muslim mengangkat seorang khalifah. Kewajiban ini ditetapkan berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal. Adapun apa yang diriwayatkan dari al-Asham bahwa ia berkata, “Tidak wajib,” juga selain Asham yang menyatakan bahwa mengangkat seorang khalifah wajib namun berdasarkan akal, bukan berdasarkan syariah, maka dua pendapat ini batil (Imam Abu Zakaria an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, VI/291).
Di dalam Kitab Rawdhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin disebutkan:
لاَ بُدَّ لِلأُمَّةِ مِنْ إِمَامٍ يُقِيْمُ الدِّيْنَ وَيَنْصُرُ السُّنَّةَ وَيَنْتَصِفُ لِلْمَظْلُوْمِيْنَ وَيَسْتَوْفِي الْحُقُوْقَ وَيَضَعُهَا مَوَاضِعَهَا.قُلْتُ تَوْلَي اْلإِمَامَةِ فَرْضُ كِفَايَةٍ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَنْ يَصْلُحُ إِلاَّ وَاحِدٌ تُعُيِّنَ عَلَيْهِ وَلَزِمَهُ طَلَبُهَا إِنْ لَمْ يَبْتَدِئُوْهُ.
Sudah menjadi sebuah keharusan bagi umat untuk memiliki seorang imam (khalifah) yang menegakkan agama, menolong Sunnah, menolong orang-orang yang dizalimi, memenuhi hak-hak dan menempatkan hak-hak pada tempatnya. Saya berpendapat bahwa menegakkan Imamah (Khilafah) adalah fardhu kifayah. Jika tidak ada lagi orang yang layak (menjadi imam/khalifah) kecuali hanya satu orang, maka ia dipilih menjadi imam/khalifah dan wajib atas orang tersebut menuntut jabatan Imamah jika orang-orang tidak meminta dirinya terlebih dulu (Imam an-Nawawi, Raudhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, III/433).
Syaikh al-Islam, Imam Zakariya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakariya al-Anshari di dalam Kitab Fath al-Wahab juga menyatakan:
وَهِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ كَالْقَضَاءِ
Imam al-A’zham (Khalifah) hukumnya adalah fardhu kifayah seperti halnya peradilan (Imam Zakariya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahab bi Syarh Minhaj ath-Thulab, II/268).[]