Makelar Kasus Marak, UIY: Bukan Sekadar Oknum Tapi Juga Sistemik

Mediaumat.info – Cendekiawan Muslim Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) mengingatkan, makin maraknya makelar kasus di Indonesia yang melibatkan aparat penegak hukum bukan sekadar masalah oknum tetapi sudah sistemik.
“Saya kira masyarakat juga musti mengerti bahwa ini juga bukan sekadar oknum, tapi ini juga sistemik,” ujarnya dalam Fokus: Markus Lagi, Markus Lagi, Ahad (20/4/2025) di kanal YouTube UIY Official.
Adalah sistem hukum dan peradilan sekuler saat ini benar-benar menjadi “surga” bagi mafia peradilan, khususnya para markus (makelar kasus). Istilah makelar kasus merujuk pada orang atau pihak yang berperan sebagai perantara dalam merekayasa suatu perkara hukum dengan tujuan mendapatkan keuntungan pribadi.
Sebutlah Zarof Ricar, mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) yang telah meraup uang sebesar Rp920 miliar hasil dari mengurus perkara selama bertugas di sana. Hal ini terungkap dalam pengembangan penyidikan kasus suap gratifikasi hakim terkait vonis bebas Gregorius Ronald Tannur pada akhir 2024 lalu.
Belum lagi kasus mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi yang cukup beken pada rentang 2016, juga karena terlibat dalam kasus pengaturan perkara yang melibatkan pejabat pengadilan, swasta, dan korporasi besar di Mahkamah Agung.
Masih di dalam lingkup peradilan, pada akhir 2022 misalnya, tercatat ada 25 hakim terjerat kasus korupsi, jaksa ada 11 orang dan polisi 3 orang. Pada 2023, Komisi Yudisial mengusulkan 45 hakim untuk diberi sanksi karena berbagai pelanggaran, seperti manipulasi fakta persidangan, bersikap tidak profesional, menerima suap, dan kasus lainnya. Menurut laporan dari Komisi Kejaksaan, pada tahun 2023, sebanyak 16 jaksa dilaporkan karena kasus suap dan penyalahgunaan wewenang.
Dengan kata lain, jelas UIY, masifnya transaksi hukum di setiap proses peradilan tidak semata-mata disebabkan oleh perilaku individu, tetapi lebih kepada sistem berikut celah gelap tersebut.
“Ada ruang gelap transaksi hukum itu, yang itu terjadi itu bukan semata-mata karena orang per orang, tapi memang tatanan hukum yang sekularistik,” bebernya.
Malahan dari sistem buruk yang sebelumnya ia sebut sekuler inilah kemudian lahir oknum-oknum penegak hukum yang jauh dari nuansa keimanan dan ketakwaan.
“Itulah hukum sekuler itu menghasilkan orang-orang yang sekuler juga,” sebutnya, yang berarti hukum justru dijadikan objek transaksi bukan sebagai medium untuk menegakkan keadilan.
Jikapun ada orang yang baik, imbuhnya, pun biasanya akan tersisih sebagaimana kerap terjadi di dalam sistem kehidupan sekuler saat ini.
Pasalnya, sebut UIY, sistem yang korup enggak bakalan suka kepada orang yang qana’ah, yaitu sikap yang senantiasa merasa cukup dan puas dengan apa yang telah diberikan Allah SWT, tanpa berlebihan dalam keinginan duniawi.
“Di situlah umat itu perlu diajak untuk berpikir dan bersikap bahwa kalau kita terus-menerus hidup dalam sistem sekuler, ya kayak begini ini jadinya,” pungkasnya.[] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat