Mahfud MD Sebut Demokrasi Tidak Baik-baik Saja, Pamong Institute: Sesuai Realita

Mediaumat.id – Pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD yang menyebut demokrasi di Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja, dinilai Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroky sesuai realita.

“Pernyataan Mahfud MD tentang demokrasi Indonesia yang tidak sedang baik-baik saja, ya tentu ini sesuai realita,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Sabtu (24/9/2022).

Menurutnya, sebenarnya bukan demokrasi yang tidak baik-baik saja, justru negeri ini sedang tidak baik-baik saja. “Jadi, yang tidak baik-baik saja bukan hanya pelaksanaan demokrasinya, tetapi demokrasi telah melahirkan para pemimpin dan para penguasa yang membuat negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Para pemimpin sekarang yang mempraktikkan demokrasi seperti itu dan kondisinya makin tidak baik-baik saja,” ujarnya.

Cukong Berkuasa

Wahyudi mengatakan, penyebab para cukong berkuasa itu sebenarnya bukan karena personal yang memang punya kekuatan atau punya kemampuan untuk berkuasa. “Tetapi lebih dari itu mereka dilindungi bahkan diberikan ruang oleh sistem yang memang membuat mereka bisa berkuasa bahkan bisa mengatur dan menunggangi kebijakan negara ini,” tegasnya.

Ia menilai cukong dapat berkuasa karena sistem demokrasi dengan biaya yang super mahal telah membuat para cukong itu bisa mendapat jalan bahkan mendapatkan jalan tol untuk bisa berkuasa. “Atau setidaknya mendudukkan orang-orang dia yang pro kepada cukong tadi untuk berkuasa di negeri ini dan kemudian membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan para cukong di setiap kegiatan yang bisa menguntungkan bisnis mereka,” jelasnya.

Jadi sebenarnya, lanjutnya, para cukong ini bisa berkuasa karena diberikan jalan oleh sistem demokrasi yang begitu mahal sehingga para cukong bisa dan turut melakukan investasi dan pembiayaan dalam pesta demokrasi dalam proses mendudukkan orang-orang yang mereka inginkan atau bahkan mereka sendiri bisa duduk di kursi-kursi kekuasaan.

“Karena pesta demokrasi yang begitu mahal telah membatasi orang-orang baik yang tidak punya uang, yang ingin melakukan kontestasi politik. Sehingga dalam pesta demokrasi yang begitu mahal yang bisa melakukan kontestasi politik yang bisa mengikutinya orang-orang yang punya uang atau orang-orang yang didukung oleh para investor politik yang punya uang. Oleh karenanya dengan demikian para cukong itu leluasa menempatkan orang-orangnya, atau bahkan mereka juga mendudukkan dirinya dalam kekuasaan, yang setelah itu mereka membuat kebijakan untuk menguntungkan kepentingan bisnis mereka,” bebernya.

Rakyat Terhipnotis

Wahyudi mengungkap ada dua alasan rakyat negeri Ini masih mendukung demokrasi.

“Sebenarnya ada dua hal. Karena sistem kekuasaan dalam demokrasi itu bekerja terus para elite politiknya untuk mempertahankannya sehingga sebagian besar orang-orang terus ditarik untuk mendukung kekuasaan mereka dengan mekanisme sistem demokrasi itu dan sebagian besar masyarakat masih terlena atau mudah terhipnotis dengan janji-janji demokrasi. Salah satu janji Demokrasi adalah kekuasaan ditangan rakyat,” ungkapnya.

Padahal sejatinya, kata Wahyudi, rakyat itu tidak berkuasa apa pun kecuali di bilik suara itu saja. “Setelah memilih, yang menentukan siapa yang menang bukan lagi rakyat, yang menentukan siapa yang duduk menjadi menteri itu juga bukan rakyat, yang menentukan kebijakan, baik naiknya BBM turunnya BBM atau naiknya harga tol maupun naiknya tarif kendaraan atau naiknya harga itu bukan lagi rakyat tetapi para cukong maupun para oligarki, baik oligarki politik maupun oligarki bisnis yang menentukan semua itu. Sehingga rakyat sebenarnya sudah tidak punya kekuasaan lagi atau kedaulatan lagi setelah memilih mereka. Setelah memberikan suara itu. Jadi, kekuasaan rakyat itu hanya sehari itu saja ketika memberikan suara,” terangnya.

“Setelah itu kekuasaan dan kedaulatan di negara ini dikelola penuh oleh para cukong, para oligarki yang mengatasnamakan kepentingan rakyat, yang sejatinya justru merugikan dan menindas serta menyengsarakan rakyat,” imbuhnya.

Alternatif Pengganti

Wahyudi mengatakan, jika bukan dengan sistem demokrasi alternatif menggunakan sistem otokrasi. Namun, menurutnya, sistem otokrasi ini juga lebih parah lagi karena kekuasaan ada di tangan satu orang yaitu raja atau orang yang ditunjuk sebagai raja. “Kalau demokrasi memang sebagian kekuasaan diturunkan ke rakyat tapi faktanya rakyat juga tidak berkuasa,” ujarnya.

Maka alternatif yang lain, menurut Wahyudi, adalah sistem Islam yang mungkin dalam konteks ini sistem pemerintahan yang dikenal dengan sistem Madinah.

“Sistem pemerintahan di Madinah yang dipraktikkan para khalifah (abu bakar, Umar, Utsman, Ali) setelah Nabi SAW. Sistem para khalifah itu bisa menjadi alternatif kalau memang ada keinginan untuk mencari sistem pemerintahan yang lebih baik atau menjadi keadaan ini jauh lebih baik dibanding sebelumnya. Dan tentu ini harus perlu dijelaskan dengan baik sehingga orang tidak salah paham,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it

Share artikel ini: