MediaUmat – Setidaknya ada lima catatan penting terkait pernyataan Perdana Menteri Denmark Mette Frederiksen yang akan melarang penggunaan cadar bagi Muslimah di sekolah dan kampus-kampus dan menutup mushala di kampus-kampus. Hal itu dinyatakan Direktur Forum on Islamic World Studies (FIWS) Farid Wadjdi kepada media-umat.com, Selasa (10/6/2025).
Pertama, sikap Denmark ini semakin menjelaskan kebusukan dari sistem sekularisme dan demokrasi berikut kebohongannya, seperti pandangan yang disampaikan oleh Frederiksen yang mengatakan, “Tuhan harus menyingkir, demokrasi lebih diprioritaskan.”
Menurutnya, ini menunjukkan dasar atau paradigma berpikir dari Mette Frederiksen. Ini juga menunjukkan bahwa demokrasi itu adalah sistem busuk yang bertentangan dengan Islam dan meminggirkan peran agama hanya dalam masalah ritual.
Kedua, apa yang dilakukan oleh Denmark ini sekaligus menunjukkan kepalsuan dari sistem demokrasi itu.
“Satu sisi mereka bicara tentang kebebasan beragama tapi ketika umat Islam beribadah dengan mendirikan mushala demikian juga bercadar sebagai bagian dari pandangan Islam ini kemudian dia dilarang. Ini sekaligus menunjukkan kepalsuan apa yang mereka sebut sebagai kebebasan beragama,” ungkap Farid.
Ketiga, lagi-lagi ini cerminan dari islamofobia yang mendorong penindasan terhadap kaum Muslim di Eropa dan di negara Barat lainnya. Mereka berusaha menghilangkan identitas Muslim dari diri kaum Muslim dengan mendorong politik asimilasi.
“Yang intinya adalah mencampakkan agama Islam sebagai aturan yang mengatur seluruh kehidupan seorang Muslim,” tegasnya.
Keempat, pandangan ini juga sebagai bukti bahwa klaim perlindungan perempuan yang sebenarnya adalah topeng penindasan perempuan. Karena ketika mereka bicara larangan terhadap pemakaian cadar, itu berarti juga bentuk penindasan terhadap aspirasi perempuan yakni aspirasi perempuan dalam menjalankan agamanya.
“Kalau mereka bicara itu adalah bentuk perlindungan justru dalam pandangan seorang Muslimah itu adalah bentuk penindasan dari keinginan mereka untuk menerapkan syariat Islam,” kata Farid.
Jadi, jelas Farid, klaim perlindungan perempuan itu justru merupakan topeng penindasan. Barat menggunakan narasi emansipasi untuk memaksakan standar liberal kepada Muslimah.
“Dan itu kan bentuk pemaksaan juga. Karena itu perlu kita tegaskan bahwa dalam pandangan seorang Muslimah memakai atau menutup aurat termasuk yang berpandangan bahwa cadar itu adalah wajib. Ini adalah aspirasi agama mereka sebagai bagian dari pelaksanaan dari syariat Islam,” tandasnya.
Kelima, ini juga menunjukkan bukti kegagalan multikulturalisme di Barat. Mereka mengatakan bahwa nilai-nilai Barat itu akan mengakomodasi berbagai nilai yang ada di tengah masyarakat. Kenyataannya yang terjadi itu adalah tirani mayoritas.
“Minoritas yaitu Musim dipaksa untuk meninggalkan keyakinannya demi menyatu dengan budaya Barat yang bertentangan dengan Islam,” ungkapnya.
Menurut Farid, di sinilah letak pentingnya umat Islam membutuhkan negara yang melindungi wanita-wanita Muslimah. Negara yang benar-benar bisa melindungi wanita-wanita Muslimah bukanlah negara demokrasi bukan negara sekuler, itu hanya topeng penindasan.
“Yang bisa melindungi Muslimah adalah negara yang didasarkan pada Islam. Itulah negara khilafah ‘ala minhajin nubuwwah sekaligus juga akan menjamin hak-hak Muslim dan non- Muslim secara adil,” tegasnya.
Sebelumnya dikabarkan, Denmark akan melarang penggunaan cadar bagi Muslimah di sekolah dan kampus-kampus dan juga akan menutup mushala di kampus-kampus.
Perdana Menteri Denmark Mette Frederiksen mengatakan, pemerintahnya merasa perlu memperluas area larangan cadar ke institusi pendidikan dengan menerapkannya di sekolah dan universitas.
“Tuhan harus menyingkir. Anda punya hak untuk beriman dan menjalankan (syariat) agama, tapi demokrasi lebih diprioritaskan,” kata Frederiksen, kepada kantor berita Denmark Ritzau, dikutip Sabtu (7/6/2025).[] Achmad Mu’it
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat