Lembaga Peradilan Yang Sesuai Syariah?

 Lembaga Peradilan Yang Sesuai Syariah?

Oleh: Ahmad Rizal (Indonesia Justice Monitor)

Islam diturunkan oleh Allah SWT dengan membawa syariah yang sempurna, yang akan mewujudkan rahmatan lil alamin (kedamaian dan kesejahteraan bagi alam semesta). Hanya saja, manusia—sebagai subyek dari syariah Islam ini—tetaplah seorang manusia, yang tidak lepas dari melakukan kesalahan (kezaliman, penyelewengan dan pelanggaran), baik ia sebagai penguasa maupun rakyat biasa. Peradilan Islam sangat dibutuhkan.

Dalilnya adalah al-Quran dan as-Sunnah. Dalil yang berasal dari al-Quran adalah firman Allah SWT:

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ

Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut wahyu yang telah Allah turunkan (QS al-Maidah [5]: 49).

وَإِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ…

Jika mereka dipanggil menuju Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka… (QS an-Nur [24]: 48).

Adapun dalil dari as-Sunnah adalah tindakan rasul saw. sendiri. Saat memimpin Daulah Islam di Madinah, beliau secara langsung memimpin lembaga peradilan ini. Beliau juga memutuskan masalah yang terjadi di antara anggota masyarakat. Aisyah ra. berkata:

Utbah bin Abi Waqqash telah mengamanah-kan kepada saudaranya, yaitu Saad bin Abi Waqqash, “Anak laki-laki dari waladah (budak perempuan) Zam’ah adalah bagian dari keluargaku.” Karena itu ambillah dia.” Saat tahun Fathu Makkah (Penaklukan Kota Makkah), Saad mengambil anak itu. Saad berkata, “Dia adalah anak saudaraku yang telah mengamanahkan kepadaku tentang anak laki-laki ini.” Abdu bin Zam’ah berdiri seraya berkata, “Dia (anak laki-laki) saudaraku dan anak dari budak perempuan bapakku yang dilahirkan di atas tempat tidurnya (dilahirkan dari hasil pernikahan yang sah dengan suaminya).” Keduanya mengadukan perkara itu kepada Rasulullah saw. Saad berkata, “Wahai Rasulullah, dia adalah anak dari saudaraku yang telah mengamanahkan kepadaku tentang anak ini.” Kemudian Abdu bin Zam’ah berkata, “Dia (anak laki-laki) saudaraku dan anak dari budak perempuan bapakku.” Rasulullah saw. bersabda, “Dia itu menjadi milikmu, wahai ‘Abdu bin Zam’ah.” Kemudian Nabi saw. bersabda, “Anak itu milik suami (yang menikah dengan sah), sedangkan untuk pezina (muhshan) bagi dia adalah batu (dirajam).” (HR al-Bukhari).

Rasulullah saw. juga pernah mengangkat seseorang sebagai qâdhî (hakim). Beliau telah mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai qâdhî di Yaman. Beliau berpesan kepada dia sebagai arahan mengenai tatacara memutuskan suatu perkara secara adil dan benar. Rasulullah saw. bersabda:

إِذَا تَقَاضَى إِلَيْكَ رَجُلاَنِ فَلاَ تَقْضِ لِْلأَوَّلِ حَتَّى تَسْمَعَ كَلاَمَ اْلآخَرِ فَسَوْفَ تَدْرِي كَيْفَ تَقْضِي

Jika dua orang menghadap kepada kamu meminta keputusan, janganlah kamu tergesa-gesa memutuskan perkara di antara mereka (hanya dengan mendengar keterangan satu pihak) sebelum engkau mendengarkan perkataan pihak lainnya hingga engkau tahu bagaimana seharusnya engkau memutuskan perkara di antara mereka itu (HR at-Tirmidzi dan Ahmad).

Dalam hadis lain dinyatakan dengan matan:

إِذَا جَلَسَ إِلَيْكَ الْخَصْمَانِ فَلَا تَكَلَّمْ حَتَّى تَسْمَعَ مِنْ اْلآخَرِ كَمَا سَمِعْتَ مِنْ اْلأَوَّلِ

Jika ada dua orang yang bersengketa duduk di hadapanmu (meminta keputusan), janganlah engkau berbicara (memberi keputusan) hingga engkau mendengarkan dari pihak lain sebagaimana engkau telah mendengarkan dari pihak pertama (HR Ahmad).

Semua ini adalah dalil tentang disyariahkannya lembaga peradilan (qadha’). Dari hadis riwayat Aisyah ini tampak jelas bagaimana tatacara yang telah ditempuh oleh Rasulullah saw. dalam memutuskan perkara sengketa antara Saad dan Abdu bin Zam’ah mengenai status anak laki-laki Saudah binti Zam’ah. Satu mengklaim sebagai keponakannya. Satunya mengklaim sebagai saudaranya. Masing-masing merasa berhak atas anak laki-laki itu. Kemudian Rasulullah saw. memberitahu keduanya tentang status hukum syariah yang berkaitan dengan anak laki-laki yang mereka sengketakan, bahwa anak laki-laki Saudah adalah saudara Abdu bin Zam’ah. Sebab, Anak itu milik suami (yang menikah dengan sah). Dengan demikian, keputusan Rasulullah saw. itu adalah pemberitahuan keputusan hukum syariah, dan Rasulullah saw mengharuskan keduanya terikat dengan keputusan itu. Abdu bin Zam’ah akhirnya mengambil anak laki-laki tersebut.[]

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *