LBH Pelita Umat Imbau Polisi Tangkap Penghina Ajaran Islam Khilafah

Mediaumat.id – Berkenaan dengan ucapan pejabat publik yang cenderung menyudutkan terlebih menghina ajaran Islam, khilafah, Ketua Lembaga Bantuan Hukum Pelita Umat (LBH PU) Jawa Timur Syaifuddin Budihardjo, S.H.I. mengimbau, agar aparat kepolisian mengambil tindakan penangkapan.
“Aparat kepolisian harusnya mengambil sikap, mengambil tindakan, menangkap,” ujarnya dalam Majelis al-Buhuts al-Islamiyyah: Pahami!!! Hukum Menghina Khilafah sebagai Ajaran Islam & Jasa Besar Khilafah di Nusantara, Sabtu (26/11/2022) di kanal YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data.
Sebabnya, orang dimaksud telah menimbulkan kegaduhan, keresahan, dan menghasut orang lain untuk saling bermusuhan.
Adalah kasus yang melibatkan Komisaris Independen Komisaris Independen PT Pelni (Persero) Kristia Budiyarto atau lebih dikenal Dede Budhyarto misalnya. Lewat akun Twitter pribadi @kangdede78 pada Rabu (26/10/2022), dirinya memelesetkan diksi khilafah menjadi ‘khilaf*ck’, sehingga membuat gaduh jagad maya, misalnya.
Menurut Syaifuddin, perkara tersebut termasuk delik umum yang tidak perlu menunggu laporan bagi kepolisian untuk menindaklanjuti. “Ini merupakan delik umum, tidak perlu ada laporan, bukan delik aduan,” tegasnya.
Artinya, sebagaimana gerak cepat ketika menangkap para ulama, ustadz, yang dilaporkan sebagian kelompok lain cuma perihal keberatan diselenggarakannya pengajian misalnya, pihak kepolisian pun harusnya demikian.
Namun alih-alih demikian, justru terkesan suka-suka dalam menangani perkara hukum. Sebutlah penangkapan Gus Nur, yang kata Syaifudin, kala itu aparat kepolisian melakukan penangkapan dengan surat perintah yang menyusul dua jam setelah itu.
“Secara hukum ini tidak sah. Tetapi yang namanya hukum yang mereka mengatakan suka-suka, hukum ada di tangan mereka maka kembali kepada prinsip tadi itu, suka-suka,” ulasnya.
Islamofobia
Di sisi lain, ia menggambarkan betapa selama ini perkara penistaan terhadap Islam termasuk ajarannya, khilafah yang agung, didasari oleh rasa islamofobia.
Celakanya, tindakan-tindakan menyerang ajaran-ajaran maupun simbol-simbol Islam yang memunculkan bermacam penistaan, ujung-ujungnya dianggap lumrah dan akhirnya, belum sempat ditindaklanjuti, kasus pun dihentikan.
“Ujung-ujungnya kita mengetahui berhenti, proses hukum berhenti. Itu si Abu Janda itu dilaporkan berapa kali, prosesnya juga tidak jalan,” sesalnya.
Padahal secara pidana, lanjut Syaifuddin, penistaan terhadap ajaran Islam, khilafah, yang dilakukan oleh mereka sebenarnya sudah masuk unsur-unsur terkait pasal 27 Undang-Undang ITE.
“Dan ini ketika kita amati unsur-unsur dalam pasal 27 dalam Undang-Undang ITE semua unsur itu masuk. Maka harusnya segera diproses,” tegasnya.
Bobrok
Sedangkan mengenai tidak ada penindakan lebih lanjut pada tingkat penyelidikan lantas perkaranya pun dihentikan, kata Syaifudin, menunjukkan bahwa saat ini Allah SWT membukakan kepada masyarakat Indonesia, betapa bobroknya sistem hukum yang ada di negeri ini.
Makanya, ia menyebut, di antara lembaga penegak hukum, yaitu kepolisian, kehakiman maupun kejaksaan, tidak ada satu pun yang bisa diharapkan kecuali konsultan hukum atau pengacara.
Padahal, di depan hukum, konstitusi positif negeri ini menyejajarkan kedudukan siapapun di dalam hal kebebasan menjalankan agamanya masing-masing, termasuk menjalankan ajaran-ajaran Islam.
“Siapa pun yang menistakan agama, baik Itu Islam ataupun agama-agama yang lain mereka harus mendapat hukuman atau mendapatkan sanksi sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku,” ungkapnya, seraya menyinggung Pasal 156a KUHP tentang ancaman hukuman penjara paling lama 4 tahun plus dendanya.
Terakhir, yang menjadi catatan Syaifuddin, tidak ada satu pun produk hukum di negeri ini yang menyatakan bahwa khilafah adalah ajaran yang terlarang. “Sehingga insyaAllah, secara hukum jelas apa yang didakwahkan para pejuang khilafah tidak melanggar konstitusi,” pungkasnya.[] Zainul Krian