Kumpul Kebo Marak, Hasil Liberalisasi Sistematis dan Terstruktur

MediaUmat Aktivis Muslimah Selly Selviana menyatakan maraknya kohabitasi (kumpul kebo) di kalangan Gen Z merupakan hasil dari liberalisasi yang berlangsung secara sistematis dan terstruktur.

“Ini tidak lahir secara tiba-tiba tetapi ini adalah hasil dari liberalisasi sekuler yang berlangsung secara sistematis dan terstruktur,” ujarnya dalam Muslimah on Room: Kohabitasi Berujung Mutilasi, Dampak Liberalisasi Pergaulan Sosial, Sabtu (20/9/2025) di kanal Muslimah Media Hub.

Selly menyebut, salah satu alasan utama kohabitasi di kalangan Gen Z adalah efisiensi biaya hidup dan juga ada tuntutan dari gaya hidup yang hedon.

Di sisi lain, sebutnya, juga menunjukkan semakin lemahnya benteng akidah yang ada pada diri mereka.

“Akidah tidak mampu menjadi benteng bagi kehidupan mereka sehingga mereka itu mudah terpengaruh oleh ide-ide sekuler,” sambungnya.

Desakralisasi Pernikahan

Selain itu, sebut Selly, ada pergeseran makna pernikahan atau desakralisasi terhadap ikatan pernikahan pada cara pandang Gen Z.

Menurutnya, banyak anak Gen Z yang saat ini memilih untuk tidak menikah karena menganggap pernikahan itu sebagai institusi yang sangat merepotkan bahkan menjadi penghalang karier dan kesuksesan mereka.

Merujuk pada survei yang dilakukan pada 2023, Selly menyebutkan, dari 1087 responden, 21% responden Gen Z menyatakan tidak berniat untuk menikah. Lalu 61% responden ingin menikah, namun tidak dalam waktu dekat. Dan hanya 18% yang siap menikah dalam waktu dekat.

Selain itu, Selly menambahkan, ada trauma-trauma terhadap pernikahan karena mereka lahir dari keluarga pernikahan yang broken home, berarti ibu mereka mungkin dari kalangan para milenial yang juga gagal dalam pernikahan.

“Akhirnya mereka memilih tidak menikah karena pandangan mereka kohabitasi ini dianggap sebagai hubungan yang murni yang mencerminkan cinta dan di situ ada daya tarik mutualisme, tidak perlu lagi ribet dengan aturan suami istri, aturan birokrasi mengurus pernikahan, belum lagi kalau bicara mahar juga harus mahal, kemudian pembiayaan anak dan seterusnya,” urainya.

Sekuler Liberal

Selly mengkritisi, Gen Z itu memiliki cara pandang sekulerisme dan liberalisme.

“Banyak hal yang memengaruhi mereka. Misalnya, satu dari tontonan-tontonan mereka, media-media, para influencer yang masih menyuarakan terkait dengan child free, waithood termasuk kayak media dan juga film-film drakor yang menggambarkan kehidupan kohabitasi itu cukup banyak sehingga biasa aja gitu di sana itu pasangan muda itu tinggal bersama hanya semata-mata karena senang,” lanjutnya.

Menurut Selly, ada istilah yang mengerikan pada Gen Z yakni freind with benefit (FWB). Jadi, mereka berteman hanya semata-mata keuntungan. Keuntungannya itu semata-mata seksualitas.

“Ini kan mengerikan,” tegasnya.

Jadi, lanjut Selly, mereka enggak perlu lagi status pernikahan bahkan status hubungan kekasih pun tidak perlu. “Selama mereka mendapatkan benefit sama-sama terpuaskan melalui seksualnya tanpa harus menikah ini enggak masalah menurut mereka,” bebernya.

Institusi Keluarga

Selly mengungkap, fenomena kohabitasi disebabkan oleh institusi keluarga.

Menurutnya keluarga saat ini, ini sudah sangat lemah sebagai keluarga. Dalam Islam, keluarga sebagai madrasah ula, tempat tubuh pendidikan yang pertama dan utama bagi anak-anaknya.

“Tetapi ini sudah tidak ada profiling seperti ini. Malah yang tercipta saat ini yang banyak orang tua yang menganggap bahwa gaya hidupnya enggan menegur dan enggan membimbing,” jelasnya.

Selain institusi keluarga, sebut Selly, kohabitasi ini juga disebabkan oleh peran dari masyarakat, adanya pembiaran di kalangan masyarakat. “Kok bisa sih hidup bersama? Pak RT-nya ke mana?” ujarnya.

Gagalnya Peran Negara

Selly menekankan, tentunya kohabitasi yang marak akibat gagalnya peran negara dan gagalnya sistem pendidikan yang melahirkan generasi-generasi memiliki karakter akidah yang kuat berkepribadian Islam.

Ia juga mengkritisi peran negara yang abai terhadap media yang merusak generasi ini. Bahkan justru negara itu membuka ruang bagi industri hiburan.

Menurutnya, ini juga semakin membuktikan absennya negara dalam berbagai peran negara sebagai ra’yin (pelayan dan pengurus) rakyat termasuk generasi muda.

“Negara tidak menerapkan syariat Islam, malah menerapkan kapitalisme sekuler sehingga lahirlah generasi-generasi yang mengerikan saat ini perilakunya,” pungkasnya.[] Muhammad Nur

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: