Kritik Mitos tentang SDA, HILMI Luruskan dengan Edukasi

MediaUmat – Mengkritisi masih banyaknya salah sangka publik mengenai sumber daya alam (SDA) di Indonesia, Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) merasa perlu meluruskan dengan edukasi berbasis data.
“Banyak salah sangka publik terhadap sumber daya alam yang harus diluruskan dengan edukasi berbasis data,” tulis HILMI dalam siaran pers Intellectual Opinion No. 014: Sumber Daya Alam Indonesia: Potensi, Mitos, Tata Kelola yang diterima media-umat.com, Kamis (28/8/2025).
Menurutnya, terdapat beberapa mitos populer di tengah masyarakat terkait SDA. Di antaranya, menganggap cadangan SDA tidak akan pernah habis, padahal umur cadangan terbatas. Dengan kata lain, terbentuknya sebagian besar sumber daya alam, seperti bahan bakar fosil maupun batu bara, melalui proses alamiah yang sangat lama dan tidak dapat diperbaharui dengan cepat.
Berikutnya, mitos SDA bisa menjadikan negara makmur secara otomatis pun dinilai tak sepenuhnya tepat. Sebab fenomena resource curse atau kutukan sumber daya kerap menyertai negara-negara yang memiliki kekayaan alam melimpah yang membuat kekayaan alam tidak dikelola dengan baik.
Akibatnya, pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah, pembangunan yang lebih buruk, serta masalah seperti korupsi dan volatilitas ekonomi dibandingkan negara-negara dengan sumber daya alam yang lebih sedikit. Hal ini juga terjadi karena konsentrasi modal dan tenaga kerja hanya pada industri ekstraktif, institusi yang lemah atau korup, serta rentannya terhadap fluktuasi harga komoditas global.
Lalu mitos yang menganggap semua hasil dari SDA bakal masuk APBN. Padahal, karena berbagai faktor seperti kurangnya teknologi untuk mengolah sumber daya, ketergantungan pada ekspor mentah tanpa nilai tambah, lemahnya infrastruktur, kebijakan pemerintah yang tidak mendukung industri hilir, justru negara menerima sebagian kecil dari SDA.
Demikian pula mitos SDA terbarukan pasti lestari. Padahal di saat yang sama terjadi deforestasi yang mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati, perubahan iklim, serta peningkatan risiko bencana alam seperti longsor dan banjir. Sementara itu, overfishing menyebabkan penurunan populasi ikan dan rusaknya ekosistem laut. Sementara mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada kelestarian ekosistem keduanya.
Berikutnya, anggapan harga SDA bakal stabil merupakan mitos yang juga perlu diluruskan. Keterkaitan itu, HILMI menyampaikan yang terjadi justru harga sangat fluktuatif. Belum lagi mitos cadangan selalu bisa diganti dengan eksplorasi baru, terpatahkan dengan temuan cadangan besar yang semakin jarang terjadi.
Masih menurut HILMI, munculnya beberapa mitos atau salah sangka tersebut dikarenakan narasi politik nasionalisme, minimnya literasi publik, bias media, serta memori kolektif kejayaan migas era 1970–1980.
Dengan kata lain, kekayaan SDA di negeri ini memang besar jika dilihat dari netto potensi masuk APBN USD115 miliar/tahun atau Rp1800 trilliun/tahun. Namun, cadangan non-renewable memiliki umur relatif singkat. Sementara SDA renewable terancam degradasi bila tidak dikelola lestari.
Tata Kelola Bijak
Untuk itu, HILMI menekankan empat poin terkait tata kelola yang bijak SDA Indonesia ke depan. Pertama, transparansi dan efisiensi tata kelola yang memerlukan sumber daya manusia (SDM) kuat dan terpercaya dalam penguasaan teknologi.
Ditambah, dengan berpegang pada ajaran agama dan menumbuhkan iman yang kuat, individu memiliki alat internal untuk menolak godaan korupsi dan bertindak dengan integritas.
Kedua, diversifikasi ekonomi dengan tujuan utamanya untuk meminimalkan risiko, sehingga jika satu aspek tidak berkinerja baik, kerugian dapat diimbangi atau ditutupi oleh aspek lainnya, dan secara keseluruhan dapat meningkatkan potensi keuntungan jangka panjang. Sebutlah misalnya hilirisasi ke produk-produk industri yang memiliki nilai tambah.
Ketiga, untuk menjaga keberlanjutan, mencegah manusia dari sifat tamak, pemborosan (tabdzir) dan berlebih-lebihan (israf), maka dilakukan ekstraksi berkelanjutan dalam praktik pengambilan SDA (seperti mineral, kayu, atau air) dengan cara yang bertanggung jawab.
Artinya, memastikan bahwa kebutuhan saat ini terpenuhi tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Keempat, mengelola dana investasi yang dimiliki negara (sovereign wealth fund) untuk tujuan jangka panjang, seperti menginvestasikan surplus cadangan devisa, pendapatan SDA, atau surplus fiskal ke dalam berbagai aset keuangan yang riil di pasar global.
Dengan catatan, meski manfaat dari pembangunan sovereign wealth fund bisa diwariskan lintas generasi, namun yang terpenting adalah warisan takwa.
Terakhir, pungkas HILMI, dengan langkah-langkah tersebut bisa dipastikan Indonesia dapat mengubah narasi dari sekadar ‘kaya SDA’ menjadi ‘makmur berkat SDA yang dikelola secara adil, efisien, lestari dan penuh keberkahan’.[] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat