Kiai Labib: Puasa Benar-Benar Mengajarkan Ketakwaan Tanpa Reserve

Mediaumat.info – Ulama KH Rokhmat S. Labib menyatakan, seharusnya puasa melahirkan ketaatan tanpa reserve (syarat).
“Apa hubungannya puasa dengan takwa? Puasa itu benar-benar mengajari ketaatan kepada Allah SWT, ketaatan tanpa reserve,” ucapnya Dialog Syawal Temu Tokoh Perubahan: Bahagia di Tengah Derita, Saatnya Berubah, Sabtu (19/4/2025) di Jakarta yang disiarkan kanal YouTube One Ummah TV.
Ia mencontohkan, ketika menjelang adzan Shubuh, langsung mengakhiri makan dan minum. “Ketika disuguhi makanan yang enak dan gratis pun tetap puasa dan tidak berani makan. Itulah ketaatan tanpa reserve yang diajarkan ketika puasa,” ujarnya.
Dalam menjelaskan soal takwa, Kiai Labib, sapaan akrabnya, membedah satu ayat yang populer selama Ramadhan yakni sebagai berikut.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS al-Baqarah [2]: 183).
Takwa, terangnya, diambil dari bahasa Arab, waqa, yaqi, bentuk masdarnya wiqayah. Artinya, perlindungan. “Jadi kalau ittaqa, artinya menjadikan sesuatu sebagai perlindungan. Dalam Tafsir al-Bahru al-Muhith, kata ittaqa itu artinya menjadikan sesuatu sebagai perlindungan yang maknanya adalah perlindungan dari adzab Allah SWT. Ini penting untuk ditekankan, hidup tidak selesai begitu saja setelah kita mati, tetapi ada kehidupan baru yang di sana ada surga dan neraka. Ketakwaan adalah melakukan sesuatu yang sesuatu itu membuat kita terlindung dari adzab Allah SWT dengan ketaatan kepada Allah SWT,” jelasnya.
Ia menjelaskan, definisi takwa yang sangat populer adalah mengerjakan amal untuk menaati Allah, atas cahaya dari Allah berharap mendapatkan pahala, meninggalkan maksiat dari Allah atas dasar petunjuk dari Allah, karena takut mendapatkan hukuman (iqab) dari Allah.
“Dia mengerjakan puasa bukan karena ingin sehat tetapi karena mengharapkan pahala dari Allah, meninggalkan maksiat karena Allah, karena dia takut mendapatkan iqab dari Allah. Kenapa meninggalkan riba? Karena takut rugi. Meninggalkan riba karena takut rugi tidak disebut sebagai ketakwaan. Ketika seseorang meninggalkan maksiat karena takut adzab Allah itulah ketakwaan. Watakwa ismun jami’un lita’atillah, ketakwaan yang menghimpun ketaatan yang penuh kepada Allah,” ucapnya.
Kesadaran
Kiai Labib memaparkan, puasa mengajarkan ketakwaan tanpa reserve karena mereka memiliki kesadaran.
“Pada saat orang puasa, dia tidak berani makan dan minum walaupun tidak ada yang melihatnya. Apa yang menyebabkan itu? Karena ada satu kesadaran dalam dirinya, dia dilihat dan takut kepada Allah SWT. Ada kesadaran yang tertanam dan itulah kesadaran takwa,” jelasnya.
Seandainya, ungkapnya, hal itu ada dalam seluruh aktivitasnya, maka akan tercipta ketakwaan yang menyeluruh.
“Mengapa dia berani zalim, berani menyuap? Jawabannya satu, karena tidak yakin dan tidak merasa sedang dilihat Allah SWT. Andai saat dia korupsi, dia yakin kalau Allah melihatnya tentu dia tidak akan berani korupsi. Sayangnya kesadaran itu hanya ada pada saat dia puasa. Namun, selain itu dia tidak yakin sama Allah SWT,” paparnya.
Ketakwaan itu, ucapnya, erat kaitannya dengan keyakinan terhadap Allah, malaikat, dst. “Hal itulah yang membuat taat tanpa reserve. Hudalilmuttaqin (QS al-Baqarah [2]: 2-3), siapa orang muttaqin? Orang yang beriman kepada yang gaib yakni Allah, menegakkan shalat, dan menginfakan sebagian hartanya di jalan Allah. Gaib di sini adalah semua yang diperintahkan untuk diimani walaupun tidak terlihat secara kasat mata: Allah SWT, malaikat, surga, neraka, mizan, dan sebagainya,” terangnya.
Membentuk Takwa
Kiai Labib menjelaskan, tidak hanya perintah puasa yang bisa membentuk ketakwaan. “La‘allakum tattaqûn, sebenarnya tidak hanya puasa yang disebut la‘allakum tattaqûn, tetapi seluruh ibadah kalau dilakukan dengan kesadaran, keyakinan, dan rasa takut kepada Allah akan membuat orang menjadi bertakwa,” bebernya.
Dalam QS al-Baqarah [2]: 179, jelas Kia Labib, juga diperintahkan untuk melakukan qishash supaya bertakwa.
“Ternyata la‘allakum tattaqûn tidak hanya soal ibadah tetapi juga dalam muamalah, seperti qishash, maka aneh orang Indonesia mengaku Muslim mayoritas mereka tidak menerapkan hukum pidana Islam. Malah mengimpor hukum Barat yang justru menjauhkan dari ketakwaan,” tegasnya.
Menurutnya, seharusnya hasil puasa adalah dengan menerapkan dan menjalankan sistem Islam secara keseluruhan.
“Mengapa kok tidak bertakwa? Mengapa hanya bertakwa ketika di masjid atau di majelis taklim saja? Karena Islam tidak diterapkan dalam kehidupan. Islam hanya berlaku di masjid tidak berlaku dalam istana, pemerintahan, pengadilan, sekolah, instansi, dan dalam kehidupan sehari-hari,” sesalnya.
Dalam negara sekuler, jelasnya, Islam diparkir dan dijauhkan dari pemerintahan.
“Bagaimana bisa menghasilkan ketakwaan? Hasil puasa itu harusnya mewujud dalam kehidupan. Ketika Ramadhan kita dilarang memakan barang yang halal dari shubuh sampai maghrib, mestinya setelah Ramadhan yang memang sejak awal sudah diharamkan oleh Allah SWT seperti uang hasil korupsi dan sebagainya juga tidak dimakan. Nyatanya kok enggak bisa? Ramadhan selesai, ya selesai. Hakim tipikor ditangkap karena menerima suap 60 miliar. Hakim yang mengadili korupsi malah korupsi, bagaimana memberantas korupsi kalau seperti itu? Karena apa? Tidak ada keyakinan dan ketakutan kepada Allah,” pungkasnya.[] Ika Mawarningtyas
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat