Kiai Labib: Bukan Kewajiban Biasa, Khilafah Mahkota Seluruh Kewajiban

MediaUmat Ulama dan tokoh pergerakan Islam KH Rokhmat S. Labib menegaskan khilafah bukan sekadar kewajiban biasa dalam Islam, melainkan tajul furudh (mahkota dari seluruh kewajiban).

“Khilafah itu bukan sekadar fardu wajib sebagaimana kewajiban lain dalam Islam. Ia adalah tajul furudh, mahkota dari seluruh kewajiban. Tanpa khilafah, banyak kewajiban Islam yang tidak bisa dijalankan secara sempurna,” tegas Kiai Labib, sapaannya, dalam siniar Taajul Furudh, Selasa (20/5/2025) di kanal YouTube Rokhmat S. Labib.

Menurutnya, khilafah berperan sebagai fondasi utama yang menguatkan seluruh syariat Islam agar terlaksana secara sempurna. Tanpa keberadaan khilafah, hukum pidana, peradilan, zakat, dan jihad kehilangan daya paksa dan hanya menjadi doktrin kosong. Dalam kondisi umat yang tercerai-berai dan sistem sekuler yang memisahkan agama dari negara, kewajiban syariat pun menjadi lumpuh.

“Khilafah itu bukan sekadar alat politik atau organisasi biasa. Ia adalah pondasi utama yang membuat seluruh syariat Islam bisa terlaksana dengan sempurna di tengah umat,” tegasnya.

Ia menjelaskan, istilah mahkota kewajiban bermakna bahwa sejumlah hukum Islam tidak dapat diterapkan secara sempurna tanpa institusi kekuasaan Islam yang sah. Ini mencakup hukum qisas, hudud, zakat, dan jihad yang semuanya memerlukan otoritas negara untuk menegakkan secara sah, terukur, dan sistematis.

“Akan ada banyak kewajiban yang tidak bisa dikerjakan tanpa khilafah itu sendiri,” jelas Kiai Labib.

Ia pun menyebutkan qisas sebagai contohnya. Hukum qisas tidak dapat dijalankan langsung oleh individu atau masyarakat. Proses hukum negara yang sah dan terstruktur mutlak diperlukan, mulai dari pengadilan, investigasi, pembuktian kesengajaan, hingga identifikasi pelaku utama serta pembantu.

“Orang yang membunuh orang lain tidak bisa langsung dihukum qisas. Harus dibawa ke pengadilan… dan ini mustahil dikerjakan tanpa ada kekuasaan negara,” terangnya.

Dalam perkara zina, penerapan hukuman cambuk harus sesuai jumlah yang disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an, yaitu seratus kali cambukan. Ini menunjukkan penerapan hukum hudud memerlukan presisi dan otoritas resmi.

“Ketika disebutkan miata jaldah (100 kali cambukan), apa maknanya? Berarti nyambuknya itu harus lebih dari 99, tapi tidak boleh 101. Harus pas 100,” ujarnya.

Namun, Kiai Labib menyesalkan sikap apatis umat Islam saat ini terhadap ayat-ayat hukum tersebut, seolah-olah ayat-ayat itu boleh diabaikan karena ketiadaan negara yang menegakkannya.

“Lalu bagaimana mungkin kaum Muslimin menganggap hal itu sepele? Mengapa tidak diamalkan dan dijalankan?” kritiknya tajam.

Ia juga menyoroti pemahaman zakat yang kini dianggap sekadar amal sukarela, padahal dalam Islam zakat wajib dipungut oleh penguasa, sebagaimana ditegaskan dalam ayat: Khudz min amwalihim shadaqatan.

Kiai Labib menegaskan, perjuangan menegakkan khilafah bukanlah proyek politik alternatif, melainkan keniscayaan syar’i agar hukum Allah tidak terus dipinggirkan oleh sistem sekuler yang menolak campur tangan agama dalam urusan publik.

“Sudah saatnya umat Islam kembali menjadikan khilafah sebagai orientasi perjuangan politiknya,” tutup Kiai Labib.[] Zainard

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: