Mediaumat.id – Terkait pemberian bantuan dalam hal ini subsidi oleh negara bagi rakyat secara umum, Pengasuh PP. Tahfiz Khairu Ummah Rancah Ciamis Kiai Ibnu Aziz Fathoni menegaskan, di dalam ajaran Islam negara bukan hanya boleh tetapi wajib meringankan beban hidup rakyat.
“Di dalam Islam, negara bukan hanya sekadar boleh memberikan bantuan kepada rakyat untuk meringankan beban-beban mereka, bahkan bisa sampai wajib,” ujarnya dalam Rubrik Dialogika: AADS (Ada Apa Dengan Subsidi), Sabtu (3/8/2022) di kanal YouTube Peradaban Islam ID.
Hal demikian ia kemukakan merespons keputusan pemerintah yang mencabut subsidi dengan menaikkan harga BBM terutama jenis pertalite dari Rp 7.650 menjadi Rp 10.000/liter, dan solar bersubsidi dari Rp 5.150 jadi Rp 6.800/liter pada Sabtu (3/9) dan berlaku mulai jam 14.30 WIB dengan dalih membebani hingga dikatakan APBN bakal jebol jika tidak dilakukan.
Padahal, menurutnya, besaran belanja subsidi yang diklaim mencapai Rp502 triliun faktanya tidak sebesar itu. Apalagi realisasinya, pun jauh dari angka tersebut.
Tak ayal, ia mengatakan keputusan menaikkan harga BBM bersubsidi tersebut mengindikasikan pengkhianatan dan kebohongan.
Lebih jauh, ia menyebut rezim telah terindikasi zalim. “Alih-alih membantu, alih-alih meringankan masyarakat justru ditimpa lagi dengan masalah BBM ini,” lugasnya.
Kalau mau fair (adil), tinggal dibuka saja apa sih beban negara?” selanya.
Jelasnya, terpampang di APBN angka yang menurut Kiai Aziz, mencapai Rp400 triliun hanya untuk pembiayaan bunga utang. “Ini kan jelas memberatkan, jadi bukan subsidi,” cetusnya.
Filosofi Gembala
Namun terlepas itu, lanjut Kiai Aziz menerangkan, dalam Islam tidaklah demikian. “Di dalam Islam itu, bahkan saya sering mengilustrasikan bagaimana para Rasul selalu dari kecil itu berprofesi sebagai penggembala,” terangnya mengawali.
Terlebih hal itu telah diterangkan dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim yang artinya, “Tidaklah Allah mengutus seorang nabi kecuali telah menggembalakan kambing.’ Lalu para sahabat beliau bertanya: ‘Demikian juga engkau?’ Beliau menjawab: ‘Ya, aku dahulu menggembalakan kambing milik seorang penduduk Makkah dengan imbalan beberapa qiraath’.”
Dari pekerjaan yang pada zaman sekarang banyak ditinggalkan manusia milenial karena dianggap ndeso tersebut, ternyata diketahui adalah bentuk bekal dari Allah SWT yang terdapat seni kepemimpinan luar biasa di dalamnya. Buktinya sampai saat ini tetap menyisakan pengaruh dan keagungan nama mereka.
Sehingga lanjutnya, menggembala memiliki filosofi sangat dalam terkait sebuah kepemimpinan. “Artinya di dalam Islam ini pemimpin punya kewajiban untuk melindungi siapa saja yang dipimpinnya,” jelasnya.
Sebutlah krisis berikut ketimpangan ekonomi yang akan mampu diminimalisir. “Ketika ada ketimpangan ekonomi, kesenjangan seperti ini maka wajib negara itu turun tangan,” tegasnya, seraya mengutip QS al-Hasr ayat ketujuh yang artinya, ‘…supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu…’.
Maka sekali lagi, dalam aspek demikian, Islam boleh bahkan mewajibkan negara turun tangan menyelesaikan masalah-masalah yang, menurut Kiai Azis, bisa mengganggu keseimbangan ekonomi masyarakat secara umum.
Secara sejarah pun, kutip Kiai Aziz dari kitab Tarikh al-Khulafa karya Imam Jalaluddin as-Suyuthi, hanya dalam rentang tidak lebih dari 2,5 tahun negara sudah dalam kondisi makmur pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
“(Kala itu) tidak ditemukan lagi masyarakat yang mau menerima zakat. Dan itu bisa dalam Islam,” ungkapnya.
Oleh karenanya, ia mengajak para pemimpin pengemban amanah dari rakyat pengelola negara untuk mempelajari Islam.
Sebabnya, tegas Kiai Aziz, Islam memiliki cara serta kemampuan menghadapi segala macam bentuk dampak arus globalisasi.
“Kalau Indonesia ini berdiri 77 tahun sudah jatuh bangun menghadapi globalisasi hari ini, sejarah Islam membuktikan itu ribuan tahun bisa bertahan,” ulasnya.
Maknanya, kesiapan Islam menjawab permasalahan-permasalahan ekonomi patut dicoba. “Ayo kita selesaikan ini dengan cara Islam,” pungkasnya.[] Zainul Krian