Khilafah Bukanlah Utopia Apalagi Halusinasi

MediaUmat.info – Tegaknya kembali sistem pemerintahan Islam yang mengusung satu negara berideologi Islam universal di seluruh dunia atau dikenal sebagai al-khilafah islamiyyah (khilafah Islam), yang dipimpin oleh seorang khalifah, dinilai bukanlah khayalan (utopia) apalagi halusinasi.
“Sistem ini bukan utopia, bukan halusinasi,” kata Wartawan Senior Edy Mulyadi dalam sebuah tulisan berjudul Islam Bukan Cuma Agama, tapi Sistem Kehidupan yang Paripurna, yang diterima media-umat.info, Selasa (29/4/2025).
Menurutnya, khilafah Islam pernah memimpin dunia selama kurang lebih 13 abad, sejak pemerintahan Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai khalifah pertama berlangsung dari tahun 632 hingga 634 M, hingga Sultan Abdul Majid II, khalifah ke-101 yang berlangsung dari tahun 1922 hingga 1924 M.
Dalam rentang tersebut, sambung Edy, dunia bisa menyaksikan keadilan yang tak bisa diberikan oleh demokrasi dan kapitalisme. Bahkan, tulis Edy menambahkan, non-Muslim juga merasakan perlindungan hak-hak mereka.
Khilafah Islam, sebagaimana disinggung sebelumnya, secara faktual juga menghadirkan kewajiban sang Khalifah sebagai pelayan sekaligus pelindung umat.
Amanah ini sudah ditegaskan sendiri oleh Nabi Muhammad SAW dalam suatu hadits riwayat Imam Muslim, yang artinya: “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.”
Dengan demikian, Islam mengharuskan seorang khalifah untuk senantiasa aktif menjaga rakyat dari segala bentuk kezaliman, baik dari penjajahan asing maupun yang berasal dari internal seperti korupsi, mafia peradilan, hingga oligarki.
“Bukan jadi ‘centeng’ proyek dan ‘penjaga’ kepentingan elite,” kata Edy, sedikit menyinggung kondisi kepemimpinan negeri saat ini.
Optimalkan Konsep Kepemilikan dalam Islam
Sekadar diketahui, negara khilafah tak menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan. Tetapi mengoptimalkan konsep kepemilikan dalam Islam, terutama sektor kepemilikan negara.
Untuk diketahui pula, khilafah pada dasarnya mengadopsi tiga konsep kepemilikan harta. Pertama, kepemilikan individu yang berarti setiap orang bisa memiliki harta dengan sebab-sebab tertentu, seperti bekerja (al-‘amal), menjadi buruh (al-ijarah), waris, dsb.
Kedua, kepemilikan umum, yakni harta yang setiap orang memiliki hak dan andil di dalamnya. Dengan kata lain, individu atau sekelompok individu tidak boleh menguasai bahkan memiliki jenis harta seperti ini.
Terkait hal tersebut, Rasulullah SAW telah menegaskan dalam hadits riwayat Imam Ahmad, yang artinya: “Manusia bersekutu dalam kepemilikan atas tiga hal: air, padang gembalaan dan api.”
Ketiga, kepemilikan negara, yang sebagaimana ketentuan di dalam fikih, jika ada seorang Muslim meninggal dunia tanpa meninggalkan ahli waris, misalnya, harta kekayaan yang ditinggalkan menjadi hak milik baitul mal. Begitu juga dengan kharaj hingga jizyah. Terkecuali zakat, sambung Edy, negara hanya berkewajiban mendistribusikan kepada yang berhak.
Lantas berkenaan pajak atau pungutan wajib oleh negara kepada orang pribadi atau badan yang umumnya bersifat memaksa, lebih lanjut Edy menjelaskan, tidak diberlakukan di dalam negara khilafah kecuali dalam kondisi darurat, itupun dengan ketentuan terbatas atas kaum kaya saja.
Terakhir, ia menegaskan bahwa dengan sistem Islam, negara juga benar-benar membatasi akumulasi kekayaan hanya pada individu maupun kelompok.
“Sistem waris, larangan riba, larangan monopoli, dan kewajiban zakat semuanya adalah mekanisme agar kekayaan tidak berputar di antara orang kaya saja,” pungkasnya, memisalkan.[] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat