Ketimpangan Tarif Perdagangan Indonesia-AS

Di tengah ketegangan perdagangan global, hubungan ekonomi Indonesia-AS menjadi arena pertarungan asimetris yang mencerminkan ketergantungan negara berkembang terhadap kekuatan ekonomi AS. Dinamika ini bukan sekadar perubahan kebijakan perdagangan, melainkan cerminan lemahnya kedaulatan ekonomi Indonesia di era multipolar yang semakin kompleks.
Pada April 2025, Presiden Trump menggunakan Undang-Undang Kekuatan Ekonomi Darurat Internasional untuk mengenakan tarif “timbal balik” pada hampir 60 mitra dagang, termasuk Indonesia, dengan eskalasi dramatis dari rata-rata 2-5% menjadi 10% universal, kemudian melonjak ke 32% untuk seluruh ekspor Indonesia. Setelah negosiasi 90 hari yang menegangkan, kesepakatan parsial diumumkan 15 Juli 2025 yang menurunkan tarif Indonesia menjadi 19%, jauh dari kesetaraan yang dijanjikan.
Negara lain mendapatkan tarif yang berbeda-beda, seperti Inggris (10%), Brazil (10%), Uni Eropa (15%) dan Korea Selatan (15%) yang merupakan sekutu utama AS. Di kawasan ASEAN, sebagian besar negara seperti Indonesia, Malaysia, Philippines, dan Thailand dikenai tarif seragam 19%, Vietnam 20%, Brunei 25%, sementara Myanmar dan Laos dihukum dengan tarif 40%.
Kebijakan tarif agresif AS terhadap hampir 60 negara—termasuk sekutu tradisional seperti Jerman (25% untuk produk otomotif), Kanada (15% untuk kayu dan energi), dan India (20% untuk farmasi dan tekstil)—menunjukkan kesewenang-wenangan sebuah kekuatan imperial yang paradoksnya justru mengalami penurunan pengaruh global. Pendekatan unilateral ini mencerminkan keputusasaan AS dalam mempertahankan hegemoni ekonominya di tengah bangkitnya kekuatan multipolar. Negara-negara seperti China, Rusia, dan blok BRICS+ semakin menawarkan alternatif sistem perdagangan dan keuangan global. Ironisnya, semakin AS menggunakan tarif sebagai senjata koersif, semakin banyak negara yang mencari jalur perdagangan alternatif dan mengurangi ketergantungan pada dolar AS, seperti yang ditawarkan China atas negara-negara Afrika, serta akan mempercepat proses de-dolarisasi yang justru melemahkan posisi strategis Amerika dalam jangka panjang.
Spiral Ketergantungan
Konsesi penurunan tarif dari 32% ke 19% tersebut sangat memberatkan Indonesia. Negara mayoritas muslim ini diminta mengimpor produk pertanian AS senilai $4,5 miliar (terutama kedelai), produk energi AS senilai $15,4 miliar termasuk LNG, dan membeli 50 pesawat Boeing senilai $3,2 miliar untuk Garuda Indonesia—ironisnya, di saat maskapai tersebut melaporkan kerugian bersih $75,9 juta pada kuartal pertama 2025. Sementara ekspor AS ke Indonesia hanya dikenai tarif rata-rata 3%, tarif efektif Indonesia sebesar 19% (turun dari 32%) tetap merugikan daya saing industrinya secara signifikan.[1]
Ekspor utama Indonesia ke AS pada 2024 meliputi mesin listrik ($8,2 miliar), pakaian dan tekstil ($5,1 miliar), dan alas kaki ($3,4 miliar), dengan total $26,5 miliar. Sebaliknya, ekspor AS ke Indonesia, seperti pesawat ($4,2 miliar) dan kedelai ($2,9 miliar), berjumlah $15,5 miliar. Surplus perdagangan barang Indonesia ke AS mencapai 17,9 miliar, sementara AS mengalami surplus perdagangan jasa ke Indonesia sebesar $1,4 miliar.
Kesepakatan Juli 2025 bukan sekadar penurunan tarif, melainkan restrukturisasi fundamental hubungan ekonomi Indonesia-AS yang berpotensi melemahkan kedaulatan ekonomi Indonesia dalam jangka panjang. Tarif 19% yang masih tinggi menghambat industri pengolahan Indonesia memasuki pasar AS, sehingga berpotensi mengurangi penyerapan tenaga kerja dan pendapatan devisa. Lebih kritis lagi, impor pertanian AS yang masif mengancam petani lokal dan meningkatkan ketergantungan Indonesia pada pasokan AS. Ketergantungan ini paling terlihat pada komoditas kedelai, di mana 81% konsumsi domestik Indonesia kini bergantung pada impor AS. Petani jagung domestik juga akan terancam dengan harga jagung AS yang 50% lebih murah, disebabkan oleh produksi pertanian dalam skala besar dan subsidi melimpah dari pemerintah AS.
Impor energi $15,4 miliar, termasuk LNG, mengubah dinamika perdagangan energi Indonesia dan berpotensi mengurangi fleksibilitas geopolitik negara. Sementara itu, pembelian Boeing $3,2 miliar untuk Garuda Indonesia menambah tekanan keuangan di saat maskapai milik negara itu sedang berjuang untuk mengatasi kerugian operasionalnya.
Bagi AS, strategi ini memberikan manfaat ganda: barang Indonesia yang murah membantu menahan inflasi domestik (2,5% pada kuartal kedua 2025), sementara kesepakatan tersebut mengurangi surplus perdagangan Indonesia yang dianggap mengancam lapangan kerja AS.
Kesepakatan tarif tersebut semakin memperburuk tantangan struktural ekonomi Indonesia yang sudah kompleks. Dengan ketimpangan yang lebar (koefisien Gini 0,38), tingkat kemiskinan yang mencapai 9,78% menurut BPS atau 68% menurut Bank Dunia, dan rasio utang 40% terhadap PDB, ekonomi Indonesia menghadapi tekanan multi-dimensi. Tarif 19% menghambat industrialisasi ketika sektor manufaktur baru menyumbang 19% PDB, sementara beberapa sektor manufaktur mengalami penurunan daya saing dan pertumbuhan, seperti industri tekstil, industri alas kaki, dan industri elektronika.
Menuju Kedaulatan yang Berkelanjutan
Sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim, implementasi sistem Islam secara menyeluruh selaras dengan akidah Islam sebagai konsekuensi keimanan kepada Allah SWT sebagai Pencipta yang telah menetapkan aturan hidup komprehensif dalam ajaran Islam yang benar dan sempurna. Transformasi ini bukan sekadar pilihan pragmatis untuk mengakhiri ketergantungan dan ketundukan pada negara-negara barat seperti AS dan China, melainkan kewajiban syar’i yang tidak dapat ditawar-tawar bagi umat Islam yang beriman.
Secara empiris, kelemahan sistem kapitalisme yang diterapkan Indonesia telah mengikuti pola pembangunan ekonomi di AS, Eropa, dan China yang terbukti menciptakan eksploitasi sumber daya alam yang merusak lingkungan, ketimpangan sosial yang semakin melebar, hingga utang yang membelenggu kedaulatan. Sistem kapitalisme secara universal menunjukkan kelemahan struktural berupa krisis ekonomi siklik, konsentrasi kekayaan pada segelintir elite, degradasi lingkungan akibat mengejar keuntungan jangka pendek, serta ketidakstabilan moneter yang memicu inflasi dan resesi berulang—sebagaimana terlihat dari krisis keuangan 2008, krisis utang Eropa, gelembung properti China, dan ketimpangan wealth yang mencapai rekor tertinggi dalam sejarah modern di negara-negara maju.
Membangun Kekuatan Dunia Islam Melalui Sistem Khilafah
Sistem Khilafah membangun kekuatannya di atas fondasi akidah Islam dan hukum syariah yang mengatur seluruh aktivitas ekonomi dan urusan publik sesuai dengan perintah dan larangan Allah. Filsafat ekonomi Islam ini memastikan bahwa pengelolaan urusan publik dan kegiatan ekonomi terikat pada ketentuan syariah, bukan pada kepentingan para pemodal atau kepentingan asing, sehingga menciptakan sistem aturan yang konsisten dan dapat diandalkan oleh pelaku ekonomi. Hal ini kontras dengan sistem kapitalisme yang didasarkan pada pemisahan kehidupan dan agama, mengakibatkan kelemahan konseptual dan implementasi, termasuk ketidakmampuan mendistribusikan kekayaan secara adil.
Distribusi kekayaan menjadi pilar utama dalam sistem ekonomi Islam melalui mekanisme berlapis yang dimulai dari kewajiban nafkah keluarga, dukungan komunitas Muslim, dan intervensi negara melalui Baitul Mal yang didanai oleh sumber-sumber legal seperti zakat hingga pajak darurat (dharibah) bagi Muslim kaya ketika diperlukan. Negara mengelola fasilitas umum esensial seperti air, energi, pendidikan, dan kesehatan secara gratis atau murah, sambil melarang penimbunan harta dan penelantaran aset produktif untuk mendorong peredaran uang dan kegiatan ekonomi yang produktif.
Khilafah akan menyediakan pendidikan gratis hingga perguruan tinggi untuk semua warga guna menghasilkan ahli di berbagai bidang—ulama, militer, pangan, kedokteran, sains—demi kemandirian negara dan pelayanan umat. Islam mendorong pertumbuhan penduduk untuk menjaga ketersediaan tenaga kerja produktif yang vital bagi kemajuan ekonomi dan militer, sambil menciptakan lingkungan investasi kondusif untuk menarik talenta, penemu, dan pengusaha unggulan dari berbagai negara. Etika kerja yang baik, produktivitas, kreativitas, dan inovasi akan tumbuh subur di bawah hukum dan nilai-nilai Islam yang memberikan landasan moral kuat bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Penyatuan negeri-negeri Muslim di bawah Khilafah memungkinkan kontrol atas cadangan sumber daya alam besar berupa minyak, gas, batu bara, dan mineral yang dapat diubah menjadi sumber devisa signifikan dan fondasi industri dalam negeri. Pengelolaan sumber daya ini harus dilakukan secara cermat berdasarkan prinsip syariah untuk menghindari “kutukan sumber daya alam” dan membangun kekuatan ekonomi berkelanjutan yang tidak bergantung pada eksploitasi oleh kekuatan asing.
Khilafah akan menciptakan iklim investasi sehat dengan menghapus pajak anti-bisnis seperti pajak perusahaan, melarang penimbunan harta, dan mereformasi industri keuangan berbasis riba dan gharar menjadi sistem bagi hasil seperti syirkah mudharabah. Bisnis yang merugikan masyarakat seperti pornografi, alkohol, dan perjudian akan dilarang, sementara investasi diarahkan pada aktivitas produktif yang memberikan manfaat nyata bagi masyarakat dan selaras dengan nilai-nilai moral Islam.
Adopsi standar moneter emas dan perak (dinar dan dirham) akan menghasilkan nilai mata uang yang lebih stabil, inflasi rendah, dan nilai tukar kompetitif yang merangsang pertumbuhan ekonomi lebih baik dibandingkan mata uang kertas yang rentan manipulasi. Sistem keuangan Islam yang menolak riba dan gharar sambil mendorong qardh hasanah, wakaf, dan sedekah akan membebaskan Khilafah dari dominasi sistem keuangan global yang eksploitatif dan membangun ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan.
Islam memperkuat produktivitas pertanian melalui pendekatan komprehensif. Untuk mencapai efisiensi produksi dan mengurangi biaya, Islam melarang sewa tanah pertanian yang secara signifikan menurunkan pengeluaran petani, mewajibkan negara mendistribusikan tanah kepada individu yang mampu mengolahnya, dan menerapkan aturan bahwa pemilik tanah tidak boleh menelantarkan lahan pertanian lebih dari tiga tahun. Baitul Mal menyediakan modal untuk petani yang kesulitan mendapatkan benih, pupuk, dan infrastruktur pertanian, sementara negara mendorong adopsi teknologi terbaru dan melaksanakan proyek infrastruktur besar seperti irigasi, jembatan, dan bendungan. Sistem ini terbukti efektif pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab yang menghapus sistem feodal yang menindas dan memberikan rasa kepemilikan sejati kepada petani melalui pajak tanah (kharaj) yang adil.
Anggaran negara akan didanai oleh aset publik melimpah (air, hutan, tambang, energi) dan sumber pendapatan syariah (zakat, kharaj, jizyah, pajak darurat), dengan pengeluaran dioptimalkan untuk pelayanan publik luas serta pengembangan kompleks industri militer guna memastikan kemandirian dan menjadikan Khilafah kekuatan yang disegani. Struktur APBN yang sehat dan transparan memungkinkan negara memberikan pelayanan optimal kepada rakyat sambil mempertahankan kedaulatan dan keamanan nasional.
Khilafah juga bertekad menjadi negara industri mandiri yang mampu memproduksi barang berteknologi tinggi dan peralatan militer mutakhir melalui revolusi industri yang memprioritaskan produksi barang modal (seperti mesin-mesin industri) untuk mengakhiri ketergantungan pada Barat. Transfer teknologi akan dipercepat dengan mendatangkan tenaga ahli dari negara industri maju dan memberikan insentif untuk mempertahankan talenta dalam negeri, sehingga Khilafah dapat menentukan arah pembangunannya sendiri tanpa terikat kepentingan dan agenda negara-negara industri maju.
Alhasil, persatuan negara-negara muslim dalam sistem Khilafah merupakan solusi komprehensif untuk membangun ekonomi mandiri, adil, dan berkelanjutan berdasarkan prinsip Islam. Dengan memanfaatkan sumber daya alam, SDM berkualitas, sistem keuangan stabil, dan revolusi industri yang terarah, Khilafah berpotensi menjadi kekuatan ekonomi global, memajukan dunia Islam dalam percaturan global, mengakhiri keserakahan negara-negara kapitalisme barat pada negeri-negeri muslim dan negara lemah lainnya dan mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil-alamin. Wallahu a’lam bisshawab (Muis)
[1] Further Modifying the Reciprocal Tariff Rates, Executive Orders, July 31, 2025, https://www.whitehouse.gov/presidential-actions/2025/07/further-modifying-the-reciprocal-tariff-rates/.