Kesepakatan Trump-Prabowo, Penjajahan Ekonomi AS atas Indonesia

MediaUmat – Fakta kesepakatan perundingan dagang antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto, menurut Peneliti Masyarakat Sosial Politik Indonesia (MSPI) Dr. Riyan, M.Ag. sebagai bentuk penjajahan ekonomi AS kepada Indonesia.
“Fakta ini bila ditelaah sebenarnya adalah bukan bentuk negosiasi tapi pemaksaan kehendak AS atas Indonesia tanpa perlawanan sama sekali. Lebih lugas ini bukan perdagangan tapi penjajahan ekonomi,” ujar kepada media-umat.com, Kamis (17/7/2025).
Pasalnya, sebut Riyan, hasil perundingan tersebut menyepakati produk Indonesia yang diekspor ke AS dikenai tarif dagang 19 persen oleh AS. Sebaliknya, Indonesia tidak boleh mengenakan tarif sedikit pun alias 0 persen terhadap produk AS yang masuk ke Indonesia.
Selain itu, sebut Riyan, AS juga mendapatkan akses penuh terhadap sumber daya Indonesia dan ditambah Indonesia telah berkomitmen membeli produk-produk AS, termasuk energi senilai US$15 miliar atau setara Rp244,27 triliun (asumsi kurs Rp16.293 per dolar AS), produk pertanian senilai US$4,5 miliar atau Rp73,32 triliun, serta 50 unit pesawat Boeing yang banyak di antaranya adalah tipe 777.
Menurut Riyan, dalam titik ini berlakulah sebuah peribahasa the beggars can’t be chooshers (pengemis tidak bisa menjadi pemilih). Artinya, seseorang yang berada dalam posisi membutuhkan atau meminta sesuatu dari orang lain tidak boleh pilih-pilih atau menuntut tentang apa yang mereka terima. Mereka harus berterima kasih atas apa pun yang ditawarkan kepada mereka.
Riyan melihat, Indonesia tidak memiliki posisi yang setara dalam perundingan dagang tersebut. Hal ini menunjukkan performa dari Presiden Prabowo dan tim negosiasi yang sangat-sangat buruk. Merujuk pada hasil yang diterima kedua belah pihak. Secara sederhana bila dibuat poin, maka skor nya adalah 5-0. Lima untuk Amerika dan Nol untuk Indonesia.
Sebab selain empat masalah terkait tarif 19 persen, pembelian di bidang energi, pertanian, dan penerbangan. Amerika mengklaim mendapatkan hak akses penuh ke Indonesia. Sementara Indonesia tidak mendapatkan apa pun kecuali tambahan tarif masuk Amerika 19 persen.
Dampak Buruk
Riyan menilai, dampak buruk dari kesepakatan itu sudah dapat diprediksi yakni ketimpangan yang semakin serius karena tarif tidak seimbang dalam perdagangan internasional sehingga terjadi defisit yang semakin dalam.
Saat ini, jelasnya, neraca perdagangan migas Indonesia sudah defisit US$6,19 miliar (Q1 2025) [BPS]. Transaksi berjalan defisit US$0,2 miliar, neraca pembayaran US$0,8 miliar, cadangan devisa menurun. Kurs rupiah anjlok ke Rp 16.555 per USD (BI, Maret 2025).
Dampak buruk selanjutnya, kata Riyan, akan terjadi penjajahan pasar domestik. Produk pertanian dan energi AS akan membanjiri pasar lokal. Petani lokal terancam. Industri lokal tercekik. Kedaulatan pangan dan energi semakin rapuh.
Riyan mengungkapkan, secara mendasar ada pesan yang tersirat selain hasil yang tersurat. Dalam struktur ekonomi dunia yang kapitalistik, maka yang berlaku adalah hukum rimba. Siapa yang kuat dia berkuasa.
AS, sebut Riyan, dengan kekuatannya dapat mendikte dan memangsa negara seperti Indonesia yang lemah. Pedagang besar bak preman memalak pedagang kecil. Hal ini berbeda dengan sikap Trump ketika menghadapi sesama pedagang besar, yakni Cina yang secara terbuka membalas dan menolak tunduk kepada pemalakan dagang yang dilakukan Amerika.
Riyan mengatakan, praktik sistem perdagangan internasional saat ini yang dilandasi ideologi kapitalistik adalah sesuatu yang eksploitatif, tidak adil dan bertentangan dengan Islam. Dalam aturan Islam, perdagangan harus berdasarkan asas keadilan (العدل) dan kesetaraan (التكافؤ) tanpa unsur eksploitasi.
“Selain itu negara Islam tidak akan tunduk pada tekanan negara kafir harbi fi’lan (memerangi Islam/Muslimin secara nyata) seperti AS. Dan yang utama perdagangan dengan negara kafir harbi fi’lan hukumnya haram, karena membuka celah bagi penjajahan dan penyerangan.
Terakhir Riyan mengingatkan, Indonesia tidak akan pernah lepas dari dominasi asing selama tetap berada dalam kerangka kapitalisme neoliberal. Maka solusi tuntas dan komprehensif hanya akan datang dari perubahan sistemik menuju sistem Islam kaffah.
Hal ini, sebut Riyan, ditandai dengan beberapa langkah strategis yakni mencegah dan menghentikan dominasi negara kafir atas ekonomi umat, mengelola SDA dan energi sebagai milik umum, bukan diperjualbelikan dan diserahkan ke swasta, mengembangkan perdagangan dan industri mandiri yang berbasis syariah, menghapus utang luar negeri dan skema perdagangan timpang.
“Beberapa langkah tersebut akan benar-benar terimplementasi manakala Islam kaffah diterapkan dalam bingkai negara khilafah,” pungkasnya.[] Agung Sumartono
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat