Kesepakatan Gas antara Mesir dan Entitas Yahudi Merupakan Pengakuan Perampasan dan Penjarahan Kekayaan Umat

Pada 7 Agustus 2025, Menteri Energi Israel, Eli Cohen, mengumumkan penandatanganan apa yang ia sebut sebagai “kesepakatan terbesar dalam sejarah (Israel)” untuk mengekspor gas alam ke Mesir, senilai 35 miliar dolar. Kesepakatan ini mencakup penjualan sekitar 130 miliar meter kubik gas hingga tahun 2040, atau hingga jumlah yang ditetapkan dalam kontrak terpenuhi. NewMed Energy, mitra di ladang Leviathan yang diduduki, menjelaskan bahwa kesepakatan itu akan diselesaikan dalam dua tahap: pertama, dimulai pada tahun 2026, dengan volume 20 miliar meter kubik, dan kedua, termasuk 110 miliar meter kubik, setelah selesainya perluasan infrastruktur dan pembangunan jaringan pipa baru melalui penyeberangan Nitzana.
Pengumuman ini bukan tanpa alasan. Melainkan, ini merupakan perpanjangan dari perjanjian sebelumnya yang ditandatangani pada tahun 2019 antara Mesir dan entitas Yahudi, yang mencakup pasokan 60 miliar meter kubik gas, lebih dari sepertiganya telah terkirim. Namun, yang baru hari ini adalah kesepakatan tersebut telah berlipat ganda, menjadikannya kesepakatan ekspor terbesar dalam sejarah entitas Yahudi.
Kesepakatan ini bukan sekadar kesepakatan dagang antara dua negara, seperti yang digambarkan media resmi. Sebaliknya, ini merupakan pengakuan implisit atas perampasan Palestina oleh Yahudi, bahkan dukungan finansial dan strategis untuknya. Gas yang akan diekspor entitas tersebut berasal dari ladang-ladang yang terletak di Laut Mediterania, yang direbutnya secara paksa setelah merampas tanah Palestina. Oleh karena itu, mereka yang menandatangani kesepakatan tersebut secara efektif mengakui perampasan ini dan memberinya legitimasi tambahan melalui transaksi ekonomi langsung, setelah demarkasi perbatasan baru-baru ini yang mengokohkan posisi entitas Yahudi.
Ini bukan perdagangan bebas antara dua pihak yang setara. Melainkan, ini adalah hubungan antara perampas tanah dan kekayaan Muslim dan penguasa di negara tetangga yang memberinya uang sebagai imbalan atas pasokan hasil rampasannya! Ini adalah bentuk normalisasi ekonomi, yang bahayanya tidak berbeda dengan normalisasi politik dan keamanan. Bahkan, mungkin lebih berbahaya lagi, karena mengikat kehidupan dan penghidupan sehari-hari masyarakat ke tangan musuh mereka.
Kesepakatan ini muncul di saat Mesir sedang dilanda krisis energi yang mencekik, dengan produksi gasnya menurun dari lebih dari 6 miliar kaki kubik per hari pada tahun 2021 menjadi sekitar 3,5 miliar kaki kubik pada tahun 2025. Ini berarti bahwa negara yang bertahun-tahun lalu berbicara tentang swasembada gas dan kemampuan untuk mengekspor, kini telah menjadi importir gas dari musuh bebuyutannya!
Dengan demikian, entitas Yahudi telah menjadi pemasok energi utama bagi Mesir, yang berarti pengambilan keputusan Mesir di sektor strategis seperti energi kini bergantung padanya dan harga serta kebijakan yang diberlakukannya. Hal ini tentu akan menempatkan Mesir dalam siklus ketergantungan politik dan ekonomi, menjadikannya bagian dari proyek untuk mengubah entitas Yahudi tersebut menjadi pusat energi regional di Mediterania Timur.
Sungguh, apa yang terjadi bukan sekadar perdagangan gas. Namun, ini adalah penggambaran ulang peta pengaruh di kawasan, di mana Mesir didorong untuk menjadi sekadar saluran atau perantara ekspor gas dari entitas Yahudi ke Eropa melalui fasilitas pencairan di Idku dan Damietta, sementara entitas tersebut menjadi sumber utama, meraup keuntungan politik dan ekonomi, serta mendapatkan waktu dan legitimasi.
Gas, minyak, dan sumber daya alam utama lainnya bukanlah milik negara, penguasa, atau bahkan rakyat secara individu. Namun, semuanya adalah milik umum seluruh kaum Muslim, sebagaimana dinyatakan dalam hadis Rasulullah saw:
«الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ: فِي الْمَاءِ، وَالْكَلَأِ، وَالنَّارِ»
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Ibnu Majah).
Gas adalah istilah yang digunakan untuk menyebut hal yang sama dengan “api”, yang berarti energi. Gas merupakan salah satu sumber daya yang ditetapkan oleh hukum Islam sebagai milik kaum Muslim. Tidak ada individu, entitas, atau negara yang boleh memonopoli atau mengelolanya dengan cara yang melanggar hak-hak umat.
Oleh karena itu, menandatangani perjanjian semacam itu dengan entitas perampas tanah, yang menjual sumber daya yang awalnya milik umat, merupakan kejahatan ganda karena mengakui dan membiayai perampas tersebut. Hal ini juga merampas hak umat atas sumber dayanya, yang seharusnya dikelola untuk melayani kepentingannya, bukan dijual murah kepada musuhnya.
Islam telah menjadikan pengelolaan aset-aset publik ini sebagai tanggung jawab negara, agar aset-aset tersebut dikelola untuk kemaslahatan seluruh umat, dan hasil pendapatannya dialokasikan untuk kebutuhan-kebutuhan pokok umat, seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, serta jihad, dan tidak dijadikan sumber kekayaan bagi musuh penjajah.
Kesepakatan semacam itu pada dasarnya tidak sah menurut hukum Islam, karena memperlakukan entitas Yahudi sebagai negara yang sah, padahal sebenarnya ia telah merampas tanah kaum Muslim dan seharusnya diperlakukan sebagai musuh yang nyata, bukan sekadar musuh politik. Kesepakatan-kesepakatan tersebut juga menghambur-hamburkan kekayaan umat dengan memberi wewenang kepada musuh untuk menggunakannya guna membiayai perekonomiannya. Lebih lanjut, kesepakatan-kesepakatan tersebut menjerumuskan umat ke dalam siklus ketergantungan, menjadikan kebutuhan dasarnya sebagai sandera bagi musuhnya.
Jadi, kewajiban umat adalah menolak perjanjian-perjanjian ini sepenuhnya dan berupaya merebut kembali tanah dan kekayaan dengan paksa, bukan dengan menandatangani kontrak jual beli. Kekayaan Islam seharusnya tidak berada di tangan entitas perampas sejak awal. Sebaliknya, tanah dan sumber dayanya harus dibebaskan dan dikembalikan kepada pemerintahan negara Islam, yang memerintah dengan hukum Islam.
Hukum Islam melarang transaksi semacam itu karena dengannya sepenuhnya mengakui entitas Yahudi sebagai sebuah negara, menganggapnya sebagai tetangga, dan menghubungkan perekonomian negara dengannya. Segala transaksi dengan entitas ini—baik yang berkaitan dengan ekonomi, politik, maupun keamanan—adalah haram karena sama halnya dengan mengakui perampasan wilayah kaum Muslim oleh entitas ini. Islam juga melarang pembiayaan atau pembayaran kepada entitas ini, baik dengan imbalan gas maupun lainnya, karena hal ini merupakan pembiayaan langsung atas perampasan dan agresi entitas ini. Kewajibannya bukanlah membeli gas dari entitas tersebut, melainkan mengambil kembali ladang-ladang yang dirampasnya dan mengembalikannya kepada kepemilikan umat, serta menuntut negara yang menerapkan Islam, yaitu Khilafah Rasyidah ‘ala minhājin nubuwah, yang mengelola sumber daya ini sebagai milik umum kaum Muslim, mengarahkannya untuk mencapai kepentingan mereka, mengurus urusan mereka, dan berjihad di jalan Allah.
Kesepakatan gas antara Mesir dan entitas Yahudi bukan sekadar kesepakatan ekonomi; melainkan pengakuan atas perampasan dan dukungan bagi perampas. Kesepakatan ini merupakan penjarahan kekayaan umat dan penyia-nyiaan atas hak-haknya. Kesepakatan ini merupakan perpanjangan dari pendekatan pemerintah yang mengaitkan kepentingan rakyat, serta ketahanan pangan dan energi mereka, dengan musuh, sehingga membelenggu umat secara ekonomi dan politik dalam ikatan pengkhianatan dan perbudakan.
Solusinya bukanlah dengan memperbaiki ketentuan-ketentuan perjanjian ini atau mencari alternatif impor sementara, melainkan dengan mencabut entitas ini, membebaskan seluruh Palestina, dan mendirikan negara Khilafah yang mengelola kekayaan umat dengan cara yang diridhai Allah, mengembalikan kedaulatannya, dan menempatkan sumber dayanya untuk melayani kebangkitan umat dan jihadnya, bukan untuk melayani musuhnya.
Umat ini menghadapi pilihan yang jelas: apakah tetap tergadai pada musuh melalui kesepakatan ini, atau bergerak untuk menggulingkan rezim yang telah menghambur-hamburkan tanah umat dan kekayaannya, kemudian mendirikan negara Islam yang melindungi hak asasi, membebaskan tanah, dan mengembalikan kemuliaan dan martabat umat, yaitu Khilafah Rasyidah ‘ala minhājin nubuwah.
﴿وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُم مِّن دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لَا تُنصَرُونَ﴾
“Janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim sehingga menyebabkan api neraka menyentuhmu, sedangkan kamu tidak mempunyai seorang penolong pun selain Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (TQS. Hud [11] : 113). [] Ustadz Said Fadil – Wilayah Mesir
Sumber: alraiah.net, 27/8/2025.
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat