Kesepakatan AS-RI di Sektor Pangan, Bentuk Ketidakadilan Struktural

 Kesepakatan AS-RI di Sektor Pangan, Bentuk Ketidakadilan Struktural

MediaUmat Menjawab pertanyaan logika keadilan dalam kesepakatan dagang AS-Indonesia di sektor pertanian, Direktur The Economics Future Islam (TEFI) Dr. Yuana Tri Utomo melihat kesepakatan tersebut sebagai bentuk ketidakadilan struktural yang dilegalkan melalui jargon perdagangan bebas.

“Ini kan bentuk ketidakadilan yang sifatnya struktural, yang dilegalkan melalui jargon perdagangan bebas itu meskipun sangat jauh dari kata adil,” tegasnya dalam Kabar Petang: Petani Digencet Produk-produk Cina dan AS? di kanal YouTube0 Khilafah News, Senin (4/8/2025).

“Beginilah kapitalisme,” kata Yuana. Jadi, menurutnya, kesepakatan itu merupakan bukti nyata adanya ketimpangan dalam sistem perdagangan global hari ini.

“Ketika negara maju bebas menyubsidi, sementara negara berkembang ditekan untuk membuka pasar, itu bentuk eksploitasi terselubung,” jelas Yuana.

Ia mengungkapkan, Amerika Serikat menggelontorkan subsidi lebih dari Rp 325 triliun per tahun untuk sektor pertanian. “Subsidinya antara lain; harga, terus kemudian pupuk, terus kemudian asuransi gagal panen, bahkan untuk dukungan ekspor,” sambungnya.

Namun lanjut Yuana, lewat kesepakatan ini juga justru Indonesia itu didorong bahkan ditekan untuk menurunkan tarif dan membuka pasarnya.

Membanjiri Indonesia

Yuana menyebutkan produk pertanian dari Amerika Serikat masuk ke Indonesia dengan harga murah, membanjiri Indonesia. Bukan karena lebih efisien, tapi karena disubsidi oleh negara mereka.

“Ini kan bukan kompetisi yang sehat,” tandasnya.

Menurutnya, lewat perjanjian dagang itu petani lokal itu justru malah menjadi korban. Bahkan korbannya dua kali. Ibarat sudah jatuh ketimpa tangga lagi, tidak dapat subsidi dari negara, tapi disuruh bersaing dengan produk-produk dari Amerika.

Kan jadinya petani Indonesia ini tidak punya jaring pengaman sama sekali ya. Subsidinya minim, terus kemudian infrastrukturnya juga buruk, kemudian akses pupuk dan modal juga terbatas. Tapi kemudian mereka dipaksa berkompetisi, dipaksa berkompetisi di pasar bebas melawan produk-produk asing yang sejak awal sudah disubsidi, sudah dimenangkan oleh negara asalnya,” urainya.

Jadi, bebernya, kapitalisme dengan kedok perdagangan bebasnya ini memang karakternya begitu. Di awal dia menjanjikan keadilan, tapi ternyata hanya kamuflase saja, hanya kedok saja dari penjajahan kapitalisme gaya baru.

“Yang katanya perdagangan bebas itu (free trade), itu menjanjikan fair trade. Yang ada justru malah bullshit itu yang ada justru fear trade itu,” tegasnya sembari menyebut inilah imperialisme ekonomi dalam wujud baru yang lebih modern.

Yuana pun menyeru pengambil kebijakan agar menjaga kedaulatan pangan Indonesia.

“Jadi, kepada para pengambil kebijakan bahwa kedaulatan pangan itu bukan soal kemampuan membeli dari luar ya, tapi keberanian untuk melindungi ee… keberanian untuk melindungi yang menanam dari dalam, keberanian melindungi petani-petani lokal dan keberanian melindungi produktivitas dalam negeri,” seru Yuana.[] Muhammad Nur

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *