Keluasan dan Kemampuan Syariat Bukan Fleksibel (Murunah) dan Berkembang (Tathawwur)

Oleh: dr. Mohammad Ali Syafi’udin

Tulisan ini sebagai respons terhadap pidato Wakil Presiden RI pada perhelatan Muktamar Internasional Fikih Peradaban yang bertema, Kontekstualisasi Pandangan Keagamaan terhadap Realitas Peradaban di Era Modern,  tanggal 6 Februari 2023. Inti dari pada pidato Wakil Presiden RI, bahwa Syariat Islam itu fleksibel (murunah) dan berkembang (tathawwur). Teori ini sebelumnya digunakan oleh tokoh Syiah, Abdul Karim Sorous, dalam bukunya, “Reason, Freedom and Democracy, dengan mengadopsi teori fisika, pemuaian dan penyusutan (al-qabdh wa al-basth).

Allah SWT berfirman:

ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا ۚ

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah [05]: 3)

Allah SWT menjelaskan di dalam ayat ini, bahwasannya Islam adalah agama yang diridhai oleh Allah untuk hamba-Nya. Islam adalah syariat yang sempurna, yang mempunyai metode yang baku dan benar dalam menyelesaikan semua problem kehidupan manusia tanpa kecuali. Ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam as-Syafii (w. 204 H) dalam kitabnya, Ar-Risâlah, mengatakan:

فَلَيْسَتْ تَنْزِلُ بِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ دِيْنِ اللَّهِ نَازِلَةٌ إِلاَّ وَفِي كِتَابِ اللَّهِ جَلَّ ثَنَاؤُهُ الدَّلِيْلُ عَلَى سَبِيْلِ الْهُدَى فِيْهَا. قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: ﴿وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتٰبَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَّهُدًى وَّرَحْمَةً وَّبُشْرٰى لِلْمُسْلِمِيْنَ ࣖ ﴾

“Tidak ada satu pun peristiwa yang terjadi pada pemeluk agama Allah ini, kecuali pasti ada di dalam kitab Allah petunjuk yang di dalamnya mengarahkan kepada jalan hidayah. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang Muslim.”[1]

Jika Islam dipahami tidak demikian, maka jelas bertentangan dengan kesempurnaan Islam  dan bertentangan dengan keridhaan Allah terhadap Islam sebagai agama  sempurna yang telah dijelaskan pada ayat di atas.

Sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Syafii di atas, syariat Islam itu mencakup seluruh perbuatan manusia, tanpa kecuali. Tidak ada sesuatupun yang dialami atau menimpa manusia, baik di masa yang lalu, sekarang, maupun yang akan datang, kecuali pasti ada hukumnya. Karena itu, para ulama’ sepakat bahwa tidak ada istilah kekosongan hukum di dalam syariat Islam. Karena semuanya sudah lengkap dan sempurna.

Allah SWT berfirman.

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ تِبْيَٰنًا لِّكُلِّ شَىْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ

Dan Kami turunkan kepadamu AlKitab (AlQuran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.(QS AnNahl [16]: 89)

Rasulullah SAW juga bersabda:

قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Aku telah tinggalkan untuk kalian petunjuk yang terang, malamnya seperti siang. Tidak ada yang berpaling darinya setelahku melainkan ia akan binasa. Barangsiapa di antara kalian hidup, maka ia akan melihat banyaknya perselisihan. Maka kalian wajib berpegang teguh dengan apa yang kalian ketahui dari sunnahku, dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjukk, gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham.”  (HR. Ibnu Majah)

Sesungguhnya syariat Islam itu menyelesaikan semua persoalan manusia itu, sebagai manusia bukan yang lain. Bukan sebagai Muhammad, Ahmad, atau Fatimah. Karena Islam adalah agama Allah yang diturunkan kepada semua manusia, dan mempunyai metode baku, yang mampu menyelesaikan semua persoalan manusia, meskipun warna kulit, kebiasaan, ras, tempat dan waktunya berbeda-beda. Itu karena masalah yang diselesaikan oleh syariat Islam, sejak zaman Nabi Adam sampai Hari Kiamat, sesungguhnya sama.

Manusia, sebagai manusia, diberikan potensi kehidupan oleh Allah yang sama. Mempunyai kebutuhan jasmani, dan naluri. Kebutuhan jasmani dan naluri ini menuntut manusia untuk dipenuhi. Seperti makan, minum, duduk, tidur, istirahat dan sebagainya, sebagai kebutuhan jasmani manusia, sejak dulu sampai kapan pun sama. Yang dibutuhkan pun sama, tidak berubah. Karena itu, kebutuhan manusia sebenarnya statis. Tidak berkembang.

Begitu juga naluri, baik naluri survive, seksual maupun beragama, semuanya menuntut untuk dipenuhi. Pemenuhannya pun sejak dulu sampai kapan pun sama. Karena itu, kebutuhan naluri manusia, sebenarnya juga terbatas. Tidak berkembang. Adapun yang berkembang sebenarnya adalah materi, benda atau alat pemuasnya.

Karena itu, jika hukum yang menyelesaikan masalah manusia bisa dibagi menjadi tiga, yaitu hubungan dengan Allah, diatur dalam hukum ibadah; dengan sesama manusia, diatur dalam hukum mu’amalah, seperti pemerintahan, politik, ekonomi, sosial, pendidikan, sanksi hukum, dan sebagainya; dengan dirinya sendiri, diatur dalam hukum akhlak, pakaian, makanan dan minuman. Semuanya jelas sudah ada hukumnya. Karena itu hukum-hukum untuk menyelesaikan semua masalah  manusia ini pun tetap dan tidak berubah.

Di sisi lain, kehebatan syariat Islam, yang direpresentasikan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah, itu dinyatakan dalam bentuk garis besar dan makna global. Karena itu, semua persoalan baru bisa dirujuk dan dikembalikan ke sana. Itulah yang dijelaskan oleh Imam Syafii di atas. Karena itu, syariat Islam mampu menjawab semua perubahan dan perkembangan tersebut. Dari sinilah, maka lahir berbagai mazhab fikih, bukan hanya fikih, tetapi juga tsaqafah Islam yang luar biasa banyaknya.

Sebagai contoh:

فَاِنْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۚ

“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu, maka berikanlah upahnya kepada mereka.” (QS. At-Talaq [65]: 6 )

Sesungguhnya dari ayat ini bisa diambil hukum syariat, tentang hak wanita yang telah dicerai suaminya, ketika dia menyusui anaknya, yaitu hak menerima upah menyusui. Karena mereka tidak lagi mempunyai hubungan suami-isteri. Dari ayat ini bisa digali hukum, bahwa  akad ijarah adalah akad yang dilakukan terjadi jasa (manfaat) dengan disertai kompensasi. Beda dengan I’arah (akad pinjam). Dari sini, para fuqaha’ membangun reasoning tentang akad ijarah yang lain, baik ajir khas (buruh khusus) maupun ajir ‘am (buruh umum).

Contoh ayat lain:

وَاَعِدُّوْا لَهُمْ مَّا اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ قُوَّةٍ وَّمِنْ رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُوْنَ بِه عَدُوَّ اللّٰهِ وَعَدُوَّكُمْ

Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah dan musuh kalian.” (QS AlAnfal [08]: 60)

Dari ayat ini juga bisa digali hukum wajibnya menyiapkan alutsista apa saja untuk menakuti musuh Allah, sebagaimana dahulu persiapannya dengan tombak, panah dan pedang. Namun di era modern, harus ada pabrik senjata mutakhir, pesawat, tank, roket, bom, sampai senjata pemusnah masal (nuklir), elektronik alat perang modern, satelit, drone dan sebagainya. Meski itu tidak dinyatakan secara sharahatan (jelas dan tegas) di dalam ayat di atas.

Ini membuktikan betapa luasnya cakupan nas-nas syariat ini, yang bisa  digali darinya hukum yang beragam untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang terus berkembang (masa’il mutajaddidah). Syariat Islam  sangat memadai untuk mengatasi semua persoalan hidup di setiap waktu, dan tempat; generasi zaman dulu, sekarang, maupun yang akan datang.

Keluasan syariat Islam yang mampu mengatasi semua persoalan manusia, baik di masa dulu, sekarang, maupun yang akan datang, tidak berarti syari’at  Islam itu bersifat fleksibel (murunah) atau berkembang (tathawwur), yang bisa ditarik-tarik dan disesuaikan dengan kondisi walaupun bertentangan dengan syari’at. Klaim seperti itu  merupakan pemahaman yang berbahaya, yang ditempelkan pada Islam, untuk menjadikan Islam ini ibarat pakaian yang kotor yang bisa diterima oleh suatu pemikiran atau pemahaman atau pendapat walaupun bertentangan dan menyelisihi Islam. Klaim dan logika seperti justru menunjukkan terjangkitnya penyakit inferiority complex (penyakit inferior akut).

Masalah ini sebenarnya bermula, ketika Barat  bangkit dengan memisahkan agama dari kehidupan dan memisahkan kekuasaan gereja dari kancah kehidupan. Pemisahan ini wajar dilakukan karena agama Nasrani tidak memiliki sistem kehidupan. Selanjutnya mereka mengalihkan pandangannya kepada Islam dan kaum muslim, seolah Islam mengalami problem yang sama, sebagaimana yang dialami oleh Kristen. Mereka mulai menawarkan kepada kaum muslim solusi-solusi berbagai persoalan kehidupan menurut versi mereka. Mereka memasarkan kepada kaum Muslimin, bahwa  solusi menurut versi mereka adalah bagian dari Islam. Karena itu tidak ada kondisi kaum Muslim yang lebih lemah melainkan kaum Muslim yang mau menerima solusi ala Barat, bahwa solusi mereka itu bagian dari Islam.

Mereka menyatakan tentang kebebasan wanita, Sosialisme, Demokrasi, kebebasan berpendapat, kebebasan berperilaku dan sebagainya. Mereka menganggap semuanya ini berasal dari Islam. Mereka menyerukan, bahwa syariat Islam itu tidak jumud, bahkan fleksibel, dan bisa menerima segala sesuatu meski tidak bersumber dari Islam. Mereka lupa, atau pura-pura lupa, bahwa Islam itu dibangun berdasarkan akidah Islam, yang kuat, yang menjadi tolak ukur untuk menilai semua pemikiran, dan menjadikan halal dan haram sebagai standar setiap perbuatan bagi umatnya. Semuanya itu tentu berbeda dengan pondasi, standar dan tolok ukur mereka.

Allah SWT berfirman:

فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (AlQuran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.(QS An-Nisa [04]: 59)

Rasulullah SAW bersabda:

لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَواهُ تَبَعَاً لِمَا جِئْتُ بِهِ

Tidaklah beriman salah seorang diantara kalian hingga hawa nafsunya mengikuti apa-apa yang aku bawa.” (Dinyatakan oleh AlBaghawi, Syarhus Sunnah, Juz I/212; Ibn Abi ‘Ashim, AsSunnah, Juz I/12; Al Baihaqi, AlMadkhal Ila AsSunnan alKubra, Juz I/88)

Keberadaan akidah sebagai standar bagi segala sesuatu  berarti semua solusi itu diambil dari nas-nas syariat, bukan dari hawa nafsu. Semua solusi yang tidak dibawa Islam, jelas bukan dari Islam dan tidak boleh diambil. Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa mengamalkan suatu perkara yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak.” (HR Muslim)

Contoh, seorang Muslim yang terikat  hukum-hukum syariat, dia tidak mamiliki hujjah dengan alasan kebebasan perilaku untuk bermaksiat kepada Allah SWT. Sebab, jika dia melakukan hal itu, maka dia berhak mendapatkan sanksi hukum di dunia oleh hakim dan di akhirat oleh Allah SWT sebab kemaksiatannya.

Tidak boleh seorang Muslim berzina dengan alasan kebebasan perilaku. Tidak boleh seorang Muslim menghina Al-Quran dengan alasan kebebasan berpendapat. Tidak boleh bagi seorang Muslim murtad dari agamanya dengan alasan kebebasan berakidah, dan tidak boleh bagi seorang Muslimah membuka auratnya dengan alasan kebebasan berekspresi.   Demikian itu karena ketika seseorang masuk Islam, berarti dia harus taat dan tunduk kepada Allah SWT.

Allah SWT berfirman:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُوْنَ حَتّٰى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوْا فِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS An-Nisa [04]: 65)

Dengan demikian, setiap Muslim ketika berpendapat, berkata dan  berbuat, maka dia harus terikat dengan hukum syariat. Demikian juga Kafir Dzimmiy, terhadap mereka diterapkan hukum Islam sebagaimana kaum Muslim. Dia tidak boleh  berbuat maksiat, seperti berzina, dengan alasan dia bukan Muslim.  Rasulullah SAW memperlakukan Kafir Dzimmiy dengan menggunakan hukum Islam, sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar. Beliau berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجَمَ يَهُودِيًّا وَيَهُودِيَّةً

Nabi pernah merajam seorang laki-laki Yahudi dan seorang wanita Yahudi.” (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad)

Karena itu, pernyataan bahwa syariat Islam itu  fleksibel (murunah) sehingga bisa menerima segala sesuatu yang bukan dari Islam adalah pernyataan yang berbahaya, yang bisa berakibat buruk, yaitu mengabaikan dan menyia-nyiakan agama, sehingga ia menerima sesuatu yang bukan dari Islam. Pada akhirnya orang yang menyatakannya akan mengalami kerugian dunia dan akhirat.

Adapun pernyataan syariat Islam itu mengalami tathawwur (evolusi atau berkembang), maka pernyataan ini juga tidak kalah bahayanya sebagaimana pernyataan syariat Islam itu fleksibel (murunah).  Karena  tathawwur itu artinya syariat Islam bisa berubah dari satu keadaan ke keadaan lain dengan mengikuti perkembangan zaman.  Dari pernyataan ini, berarti hukum  Islam itu mengalami pergantian dan perubahan dengan mengikuti zaman yang berkembang sehingga  hukum yang asalnya haram bisa berubah menjadi halal, dan begitu juga sebaliknya.

Karena itu bisa jadi seorang muslim yang terpengaruh oleh pemikiran barat, ia mengatakan hukum Islam itu mengalami perubahan dengan perubahan zaman dan tempat.  kita juga mendapatkan diantara kaum muslim ada yang mengatakan bolehnya terpecah-belah negeri kaum muslim dengan nation state, bolehnya meminta pertolongan kepada negara kafir, bolehnya berhukum dengan piagam PBB,  bolehnya riba dan sebagainya.

Padahal Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ

“Bila datang kepadamu seseorang yang hendak mematahkan tongkatmu (memecah belah jamaah) atau memecah belah persatuan kalian, maka bunuhlah dia.” (HR Muslim)

Hadist ini berisi larangan bagi kaum Muslim terpecah-belah. Sebaliknya memerintahkan mereka untuk bersatu di bawah satu kepemimpinan, yakni Khalifah.

Begitu juga hukuman untuk pencuri diganti dengan penjara,  minuman khamr dan  perzinahan diperbolehkan, membiarkan kekayaan alam negeri kaum Muslim dikuasai asing dan dilegalkan dengan undang-undang  dan sebagainya. Semuanya itu diperbolehkan, dengan alasan tathawwur dan murunah.

Sesungguhnya hukum-hukum Allah SWT tidak akan mengalami perubahan dan pergantian. Hukuman pencuri adalah potong tangan, baik pencuri di zaman Rasulullah SAW maupun di masa sekarang. Begitu juga hukuman untuk pezina juga tidak berubah. Karena itu, kita sebagai umat Islam harus memahami hukum-hukum agama kita dan menjaganya dari perubahan dan pergantian.

Keluasan dalam hukum Islam bukan berarti fleksibel (murunah) berlaku terhadap segala sesuatu meskipun bertentangan dengannya, juga tidak berarti berkembang (tathawwur), sehingga ketentuan-ketentuannya berubah menurut  waktu dan tempat yang berbeda. Tetapi  hukum Islam itu adalah hukum yang lengkap dan menyeluruh. Berisi solusi atas segala persoalan yang dihadapai manusia, dengan cara yang tetap dan tidak berubah-ubah. Solusi ini berdasarkan wahyu, yakni dalil-dalil yang sah, baik Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma Sahabat maupun Qiyas.

Solusi syariah ini tidak dapat sepenuhnya diterapkan tanpa kehadiran seorang Khalifah yang menerapkan aturan-aturan Islam secara Kaffah, serta adanya peran para Mujtahid di dalam negara tersebut, untuk memahami teks-teks hukum dan menggali  hukum syariat untuk setiap masalah yang muncul.

Inilah yang biasa dilakukan oleh umat Islam ketika mereka memiliki negara berdasarkan Islam baik  dalam perundang-undangan, kebijakan maupun pengaturan terhadap masyarakat, baik Muslim maupun non-Muslim.

 

Wallahu a’lam

[1]  As-Syâfi’i, al-Umm: ar-Risâlah, Juz I, h. 6.

Share artikel ini: