Keharusan Serahkan Data WNI ke AS, Bentuk Penjajahan Ekonomi

 Keharusan Serahkan Data WNI ke AS, Bentuk Penjajahan Ekonomi

MediaUmat Jika benar salah satu poin Kesepakatan Tarif Trump-Prabowo Indonesia harus memberikan data pribadi warga negara Indonesia (WNI) ke luar wilayah, khususnya AS, maka perjanjian dimaksud justru mengindikasikan ke penjajahan ekonomi.

“Ditengarai bahwa perjanjian itu lebih mengindikasikan penjajahan ekonomi,” ujar Peneliti Masyarakat Sosial Politik Indonesia (MSPI) Dr. Riyan, M.Ag. kepada media-umat.com, Jumat (25/7/2025).

Tak hanya itu, dikutip tempo.co (24/7), Gedung Putih pada Selasa 22 Juli 2025 lalu merilis poin-poin utama lainnya dalam kerangka kerja kesepakatan dagang AS dan Indonesia. Di antaranya tarif Indonesia ke AS sebesar 19 persen, sedangkan AS ke Indonesia malah bebas tarif (0 persen).

Ditambah, perjanjian yang menurut banyak pihak lebih banyak menguntungkan AS itu juga menyertakan poin yang mewajibkan Indonesia membeli produk energi, pertanian, hingga 50 pesawat Boeing dari negeri Paman Sam tersebut.

Patut Ditolak

Makanya, meski dikatakan hanya untuk kebutuhan perdagangan atau tujuan komersial, sebagaimana disampaikan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi beberapa waktu lalu, rencana penyerahan data pribadi WNI ke AS pun patut untuk ditolak.

“Rencana penyerahan data WNI (ke AS), walaupun diklaim hanya untuk komersial ini patut ditolak,” tegas Riyan.

Terlebih, para pakar IT (informasi dan teknologi) dan keamanan data juga telah memberikan rambu-rambu agar negeri ini tak terjebak dalam ketundukan data, baik kepada asing maupun segelintir pihak.

Dengan kata lain, meski di dalam UU 27/2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) ada Pasal 56 yang memberikan ruang legal untuk transfer data lintas batas, tetapi hanya boleh dilakukan jika negara tujuan memiliki tingkat perlindungan data yang setara atau lebih tinggi dari yang diatur dalam UU PDP atau jika telah ada perjanjian internasional yang mengikat.

“Kalau data dipakai hanya untuk membuka peluang bisnis, misalnya iklan atau riset pasar, maka manfaat ekonominya sering kali tidak seimbang dengan risiko kebocoran data,” papar Riyan, yang berarti keuntungan bisa dipastikan akan lebih banyak dinikmati korporasi asing.

Lebih jauh apabila data agregat WNI, semisal pola konsumsi, kesehatan, lokasi, biometrik, jatuh ke tangan asing, bakal berpotensi menjadi celah dan bisa dipakai untuk intervensi ekonomi atau politik.

Meski begitu, kalau memang dibutuhkan transfer data lintas negara, setidaknya dilakukan secara transparan, basis hukumnya jelas, hanya data minimal yang boleh diambil, dan yang lebih penting ada persetujuan pemilik data. Bukan malah memfasilitasi pihak asing yang mau memonetisasi data dimaksud.

Perspektif Islam

Dalam perspektif Islam, perlindungan data adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah memiliki peran sentral dalam membuat kebijakan, menegakkan hukum, dan mengembangkan infrastruktur keamanan.

Sementara itu, masyarakat perlu memiliki kesadaran dan literasi digital yang baik serta bertanggung jawab dalam menjaga data pribadinya.

Maknanya, pemerintah merupakan perisai yang wajib melindungi kepentingan rakyat lebih-lebih seputar data pribadi.

“Dia (pemerintah) adalah pengurus rakyat, maka haruslah pemerintah menjadi penjaga pintu kedaulatan digital. Alih-alih sebagai ‘penjual data’, pemerintah harus jadi pelindung rakyatnya di era digital,” tegas Riyan.

Karenanya, ia membeberkan tujuh poin sikap yang harus diambil pemerintah terkait keamanan data pribadi warga negaranya. Pertama, memprioritaskan kedaulatan data pribadi warga negara dan menempatkannya sebagai salah satu aset strategis yang setara dengan sumber daya alam.

Kedua, wajib melindungi dan atau menjamin kerahasiaan, keamanan, dan batasan tujuan penggunaan data pribadi warga negaranya, setara dengan standar internasional (GDPR),

Ketiga, dalam hal kepentingan bisnis data, pemerintah harus membangun industri data di dalam negeri yang tunduk pada hukum Indonesia. “Perusahaan asing harus bekerja sama dengan mitra lokal dan tunduk pada regulasi lokal,” ujarnya, memisalkan.

Keempat, memastikan terwujudnya transparansi dan akuntabilitas kepada publik terkait perlindungan serta keamanan data dimaksud. Kelima, mengutamakan manfaat ekonomi untuk rakyat. “Jika data dimanfaatkan untuk kepentingan komersial, rakyat harus diuntungkan langsung,” jelas Riyan.

Keenam, agar publik memiliki kesadaran, kritis dan mampu menolak penyerahan data yang merugikan, sebagaimana disinggung sebelumnya, pemerintah harus mengembangkan literasi digital dengan mendidik masyarakat tentang hak-hak kepemilikan data.

Ketujuh, harus dengan tegas menolak setiap intervensi luar negeri khususnya AS. “Kalau negara lain menekan agar data WNI diserahkan dengan iming-iming kerja sama bisnis, pemerintah harus berani menolak kalau tidak ada jaminan keamanan dan keadilan,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *