Mediaumat.id – Peristiwa kebakaran depo Pertamina di Plumpang, Jakarta Utara, pada Jumat (3/3) malam lalu, dinilai Pengamat Kebijakan Publik dari Indonesian Justice Monitor (IJM) Dr. Erwin Permana sebagai akibat kelalaian pemerintah sehingga harus bertanggung jawab.
“Apakah ini juga termasuk kelalaian negara? Tentu dalam setiap kejadian di suatu negara yang paling bertanggung jawab adalah negara (pemerintah),” ujarnya kepada Mediaumat.id, Sabtu (4/3/2023).
Menurutnya, diperlukan satu kajian khusus di awal pembangunan depo yang memastikan kemungkinan-kemungkinan kebakaran, misalnya, itu tidak terjadi.
“Apakah sudah mengikuti ilmu pengetahuan (atau) belum? Sudah mengikuti kajian-kajian teknis, kajian-kajian visibilitas tadi (atau) belum, dalam proses pembangunan depo ini?” tanyanya.
Pun demikian dengan analisis mengenai dampak lingkungan hidup (amdal) sehingga tidak berdampak terhadap masyarakat sekitar jika terjadi sesuatu seperti kebakaran yang telah menewaskan 19 orang berdasarkan data yang tercatat di Koramil 01 Koja, Sabtu (4/3/2023).
Karenanya, Erwin mengatakan, ada yang salah dalam proses pembangunan depo ini. “Ada sesuatu yang dilewatkan, yang dilanggar, atau minimum dilewatkan. Ada sesuatu yang diabaikan dalam pembangunannya ini,” sebutnya.
Berhenti Jadi Pemerintah
Lantas terkait kelalaian hingga menimbulkan hilangnya nyawa masyarakat sebagaimana akibat kebakaran tersebut, Erwin menyampaikan, agar berhenti menjadi pemerintah kalau enggak mau disebut lalai. “Kalau negara enggak mau disebut lalai, rezim lebih tepatnya, pemerintah, pemerintah enggak mau disebut lalai, berhenti saja jadi pemerintah,” ucapnya.
Pasalnya, negara ini dibentuk pada dasarnya untuk menyejahterakan masyarakat. “Kalau masyarakatnya enggak sejahtera, apalagi kemudian masyarakatnya sampai mati, (berarti) negara ini lalai,” terangnya.
Makanya, negara harus berani mengevaluasi diri berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang menurutnya, tak pernah berhenti menyakiti masyarakat ini. “Kalau masih memiliki wibawa, kalau masih memiliki harga diri, berhenti aja menterinya, misalnya,” imbuhnya lagi.
Artinya, sebagai pemerintah harusnya berbeda dengan masyarakat biasa. Sehingga tidak cukup hanya dengan berbelasungkawa. “Apa bedanya mereka dengan kita, masyarakat, hanya berbelasungkawa ketika nyawa masyarakat sudah hilang,” cetusnya, dengan kembali menyampaikan, bahwa pejabat-pejabat terkait sebaiknya mundur saja ketika ada kejadian yang telah menelan korban jiwa ini.
Sementara, di kesempatan yang sama, Erwin menyayangkan ketika pihak ketiga, swasta, turut andil dalam hal pengelolaan sumber daya alam milik masyarakat ini. “Mestinya dari awal, dari hulu sampai hilirnya itu milik masyarakat yang dikelola oleh negara. Itu yang betul,” tegasnya.
Dengan kata lain, dalam hal eksplorasi, produksi minyak bumi dan gas, hingga distribusi segala produk turunannya, Pertamina tidak boleh bekerja sama dengan pihak swasta.
Sebab, menurutnya, orientasi pihak swasta cenderung kepada maksimum profit/keuntungan yang berarti juga mengurangi biaya-biaya termasuk efisiensi dalam hal Amdal. “Swasta itu pikirannya adalah maksimum profilt. Maksimum (profit) kan keuntungan,” ujarnya.
Lantaran itu ia pun tak heran, keberadaan pemukiman di sekitar depo Pertamina terkesan dibiarkan saja. “Lah, biarin aja. Kan kira-kira begitu,” sebutnya.
Padahal, kata Erwin, mengedukasi masyarakat dalam hal risiko bahaya seperti kebakaran yang rawan terjadi adalah persoalan mudah. Mulai sosialisasi bentuk bahaya, pemberian lahan hingga tempat tinggal yang lebih aman,
“Mengedukasi masyarakat itu gampang kok, enggak sulit. Mereka butuh tanah, kasih aja tanah (untuk membangun pemukiman),” cetusnya.
“Anda mau buat rumah? Oke, saya carikan tempat yang lain ya,” demikian kata Erwin, yang menurutnya harus dilakukan pemerintah.
Namun masalahnya, seperti yang ia sampaikan, tanah-tanah sekarang sudah dikuasai oleh oligarki. Sehingga tidak ada lagi yang bisa dibagikan. “Kan enggak bisa. Itulah rusaknya sistem akibat menjalankan sekuler demokrasi kapitalis. Maka ganti aja dengan Islam,” pungkasnya.[] Zainul Krian