Keadilan Islam Membabat Korupsi

 Keadilan Islam Membabat Korupsi

Oleh: M. Arifin (Tabayyun Center)

Korupsi di Indonesia masih tinggi. Indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia saat ini di angka 40. Angka itu masih jauh dibanding IPK dua negara tetangga, Malaysia dan Singapura. Membudayanya tindak pidana korupsi di Indonesia membuat masyarakat tidak sadar bahwa korban yang paling dirugikan sebenarnya adalah rakyat sendiri. Runtuhnya nilai-nilai, macam macam norma, etika, moral, budaya dan religi di suatu wilayah memang sangat berpengaruh pada perkembangan tipikor.

Untuk itu, solusi penerapan syariah Islam sebagai satu-satunya sistem hukum tunggal di negeri ini, syariah Islam akan dapat memainkan perannya yang sangat efektif untuk memberantas korupsi, baik peran pencegahan (preventif) maupun penindakan (kuratif).

KH Muhammad Shidiq al-Jawi menjelaskan bahwa secara preventif paling tidak ada 6 (enam) langkah untuk mencegah korupsi menurut syariah Islam sebagai berikut:

Pertama: Rekrutmen SDM aparat negara wajib berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. Dalam istilah Islam, mereka yang menjadi aparatur peradilan wajib memenuhi kriteria kifayah (kapabilitas) dan berkepribadian Islam (syakhshiyah islamiyah). Nabi saw. pernah bersabda,” Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah Hari Kiamat.” (HR al-Bukhari).

Kedua: Negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Khalifah Umar bin Khaththab selalu memberikan arahan dan nasihat kepada bawahannya. Umar pernah menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari, “Kekuatan dalam bekerja adalah jika kamu tidak menunda pekerjaan hari ini sampai besok.”

Ketiga: Negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Sabda Nabi saw, “Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya rumah, hendaklah dia mengambil rumah. Kalau tak punya istri, hendaklah dia menikah. Kalau tak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (HR Ahmad).

Abu Ubaidah pernah berkata kepada Umar, “Cukupilah para pegawaimu, agar mereka tidak berkhianat.”

Keempat: Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara. Nabi saw. bersabda, “Siapa saja yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja ia ambil di luar itu adalah harta yang curang.” (HR Abu Dawud).

Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Nabi saw. berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran.” (HR Ahmad).

Kelima: Islam memerintahkan melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. pernah menghitung kekayaan para pejabat pada awal dan akhir jabatannya.

Keenam: Adanya teladan dari pimpinan. Manusia cenderung mengikuti orang terpandang dalam masyarakat, termasuk pimpinannya. Islam menetapkan kalau seseorang memberi teladan yang bagus, dia juga akan mendapatkan pahala dari orang yang meneladaninya. Sebaliknya, kalau memberi teladan yang buruk, dia juga akan mendapatkan dosa dari yang mengikutinya.

Ketujuh: Pengawasan oleh negara dan masyarakat. Khalifah Umar bin Khaththab langsung dikritik oleh masyarakat ketika akan menetapkan batas maksimal mahar sebesar 400 dirham. Pengkritik itu berkata, “Engkau tak berhak menetapkan itu, hai Umar.”

Kalau memang korupsi telah terjadi, syariah Islam mengatasinya dengan langkah kuratif dan tindakan represif yang tegas, yakni memberikan hukuman yang tegas dan setimpal. Hukuman untuk koruptor masuk kategori ta’zir, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuknya mulai dari yang paling ringan, seperti nasihat atau teguran, sampai yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Berat-ringannya hukuman disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan (Abdurrahman al-Maliki, Nizham al-‘Uqubat, hlm. 78-89).[]

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *